Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Transisi Energi

Kerangka Fiskal Perubahan Iklim Dikembangkan

Foto : ISTIMEWA

Menkeu Sri Mulyani - Pemerintah juga menggunakan alat fiskal agar dapat mengatasi isu perubahan iklim melalui insentif, misalnya tax holiday, tax allowance, dan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah saat ini sedang mengembangkan kerangka fiskal perubahan iklim atau climate change fiscal framework (CCFF). Kerangka tersebut nantinya akan mengidentifikasi permintaan serta pasokan pendanaan terkait perubahan iklim.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam acara "Indonesia Public Private Partnership (PPP) Day" di Jakarta, Senin (28/3), pengembangan itu juga sesuai dengan upaya pemerintah yang mentransformasi perekonomian Indonesia melalui adopsi kebijakan yang selaras dengan konsep global tentang perubahan iklim.

Pengembangan CCFF turut sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon (CO2) sehingga pemerintah memastikan ekonomi yang tumbuh harus berkontribusi mengurangi emisi karbon global.

RI meratifikasi Perjanjian Paris atau Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016.

Berdasarkan dokumen NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen melalui kemampuan sendiri dan 41 persen melalui dukungan internasional pada 2030.

Sri Mulyani tak memungkiri akan dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk mengatasi perubahan iklim terutama di sektor energi dan transportasi yang menyumbang 97 persen dari total emisi di Indonesia.

Kendati demikian, pemerintah akan tetap mengatasi perubahan iklim melalui mekanisme transisi energi atau energy transition mechanism (ETM) termasuk menerapkan carbon pricing.

"Pemerintah juga menggunakan alat fiskal agar dapat mengatasi isu perubahan iklim melalui insentif, misalnya tax holiday, tax allowance, dan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," kata Menkeu.

Menanggapi hal itu, Peneliti Keuangan Iklim dan Energi Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Siti Shara, meminta agar sektor industri tidak hanya melakukan pencitraan terkait dengan penggunaan energi bersih.

"Transisi ini bukan sekadar green washing, tetapi harus terjadi secara signifikan. Jika tidak, citra produk industri di mata global akan turun karena dihasilkan dari energi kotor," tegasnya.

Menurut dia, penggunaan energi batu bara berdampak sangat buruk bagi lingkungan dan mendatangkan kerugian secara ekonomi. Pilihan terbaik adalah menggantinya dengan energi bersih. Industri dapat mencapai efisiensi energi untuk mengurangi dampaknya terhadap lingkungan.

Dia mengaku masih banyak industri yang belum beralih ke energi bersih, memang ada yang sudah menerapkannya, tetapi baru beberapa. Industri-industri yang beralih itu seharusnya menggunakan PLTS.

Belum Standar

Sementara itu, Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan perusahaan yang ada maupun yang akan masuk juga masih banyak yang belum standar energi rendah karbon.

Langkah pemerintah untuk peralihan transisi energi patut didukung, namun tidak berharap akan optimal karena dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) porsi batu bara masih banyak.

Jika pemerintah berani melakukan transisi, harus mulai berani dulu ke perusahaan-perusahaan tambang batu bara dalam menghasilkan energi listrik. "Stop dulu perusahaan listrik tenaga uap (PLTU-PLTU) yang menggunakan batu bara itu. Baru kita bisa percaya," tegasnya.

Sebelumnya, PLN juga menyampaikan komitmennya mendukung pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dengan mengalihkan dan mengganti secara bertahap 5.200 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Penggantian itu makin mendesak saat harga minyak dunia meroket akibat sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) dengan sekutu-sekutunya yang melarang mengimpor produk dari Russia.

Dengan kenaikan harga bahan bakar minyak maka biaya produksi listrik dengan tenaga diesel kini jauh lebih mahal dibanding dengan energi baru terbarukan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top