Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kenali Tanda-tanda Glaukoma

Foto : ISTIMEWA

kesehatan mata

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Glaukoma menjadi penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, tertinggi kedua setelah katarak. Penyakit ini disebabkan kandungan cairan dalam bola mata yang terlalu tinggi, sehingga merusak serabut saraf mata pembawa sinyal penglihatan dari mata ke otak.

Menurut data Kementerian Kesehatan yang tercantum dalam laporan "Situasi Glaukoma di Indonesia" (2019) secara global penderita glaukoma mencapai 76 juta atau meningkat sekitar 25,6 persen dari dekade sebelumnya sebanyak 60,5 juta orang. Di Indonesia prevalensi glaukoma sebesar 0,46 persen atau angka kejadiannya setiap 4 sampai 5 orang per 1.000 penduduk.

Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dokter Subspesialis Glaukoma, dan Ketua Layanan Glaukoma JEC Eye Hospitals & Clinics Prof. DR. dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K), mengungkapkan di JEC sendiri dari 2009 hingga 2020 telah menangani lebih dari 51.810 pasien glaukoma.

"Khusus pada 2020, ketika pandemi Covid-19 mulai berlangsung, JEC mengalami penurunan jumlah kunjungan pasien glaukoma sebesar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya," ujar dia dalam webinar berjudul "Si Pencuri Penglihatan Semakin Mengancam" pada Rabu (17/3).

Dokter Subspesialis Glaukoma JEC. Dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K), menjelaskan penderita glaukoma umumnya mengalami ketidakseimbangan daur cairan yang terjadi masalah di saluran pengeluaran. Cairan yang menumpuk mengakibatkan naiknya tekanan pada bola mata di atas 21 mmHg.

Sebagai penyakit kronis, glaukoma berdampak sangat besar terhadap kualitas hidup penyandangnya. Mulai perasaan cemas sampai depresi karena adanya risiko kebutaan, aktivitas sehari-hari penderita juga mengalami keterbatasan lantaran lapang pandang mereka terganggu.

"Kehidupan sosial pun terkendala karena hilangnya penglihatan yang berangsur-angsur, serta harus bergantung kepada orang lain sehingga produktivitas penderita pun menurun," ujar Iwan.

Mereka yang memiliki risiko tinggi mengalami glaukoma adalah terjadi tekanan bola mata tinggi, berusia 40 tahun ke atas, memiliki riwayat keluarga yang menderita glaukoma (9 kali lebih berpotensi), penderita miopia atau mata minus dan mata plus atau hipermetropia tinggi, pengidap penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, dan kelainan kardiovaskular.

Selain itu mereka yang pernah terkena cedera mata, pengguna obat steroid dalam jangka panjang, dan multifaktorial, banyak yang belum diketahui. Obat steroid atau anti radang biasanya dikonsumsi oleh penderita asma, radang rematik, radang usus, radang ginjal, dan radang mata.

Iwan mengatakan masyarakat perlu waspada jika mengalami ciri-ciri yang biasa terjadi pada penderita glaukoma, seperti nyeri hebat, munculnya halo yang menyebabkan pandangan kabur, pusing, mual, dan juga muntah.

Pada mata yang mengalami glaukoma akut ditandai dengan mata merah mendadak, tekanan bola mata tinggi, kornea bengkak, bilik mata dangkal, kematian dari iris sehingga mengakibatkan pupil melebar, dapat terjadi katarak yang mengakibatkan tekanan bola mata tinggi tiba-tiba, yang disebut glaukoma flecken.

"Glaukoma tidak dapat disembuhkan namun bisa dikontrol. Oleh karenanya masyarakat perlu waspada jika mengalami gejala-gejala tersebut, sebelum berkembang menjadi lebih buruk," papar Iwan.

Tatalaksana glaukoma dilakukan melalui terapi obat, laser, dan operasi. Penatalaksanaan glaukoma harus dilakukan sedini mungkin melalui pemeriksaan berkelanjutan dan pengawasan dokter ahli secara konstan sangatlah penting. Pasien glaukoma diharapkan disiplin mematuhi anjuran dokter, termasuk dalam menggunakan obat tetes mata secara teratur.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top