Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perdagangan Global - AS Tunda Kenaikan Tarif Impor Selama 90 Hari

Kenaikan Tarif Ditunda, Dampak Perang Dagang Tetap Berjalan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok untuk menunda kenaikan tarif bagi ekspor Negeri Tirai Bambu itu dinilai tidak secara otomatis akan menghentikan dampak perang dagang pada perekonomian global termasuk Indonesia.

Pakar hubungan internasional dari Universitas Brawijaya Malang, Aswin Ariyanto Azis, menilai kesepakatan antara dua Raksasa Ekonomi Dunia itu hanya bersifat menunda eskalasi perang tarif. "Jadi, ini sebenarnya hanya penundaan eskalasi perang dagang, bukan penghentian perang dagang. Perang dagang yang berkelanjutan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi global terutama pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan AS," ungkap dia, ketika dihubungi, Minggu (2/12).

Sementara itu, lanjut Aswin, permintaan ekspor komoditas Indonesia dari Tiongkok akan menurun dan memukul kinerja eksportir nasional. Jadi, dampak perang tarif itu akan tetap terasa terutama bagi konsumen di AS dan Tiongkok. Konsumen Tiongkok harus membayar lebih mahal untuk barang yang diimpor dari AS, begitu pula sebaliknya.

Seperti dikabarkan, pertemuan Presiden AS, Donald Trump, dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, pada forum G20, di Buenos Aires, Argentina, Sabtu (1/12), menghasilkan keputusan penundaan kenaikan tarif pada produk ekspor Tiongkok senilai 200 miliar dollar AS yang sebelumnya dijadwalkan pada 1 Januari 2019.

"Gencatan senjata" yang ditandai dengan penundaan kenaikan tarif impor AS dari 10 persen menjadi 25 persen itu akan diberlakukan selama 90 hari. Aswin menilai perang dagang sebenarnya merugikan konsumen di AS maupun Tiongkok. Negara yang tidak terlibat, seperti Indonesia, bisa diuntungkan kalau misalnya konsumen di AS lantas beralih memilih barang impor dari Indonesia ketimbang dari Tiongkok.

"Untuk menghindari tarif impor AS, perusahaan AS yang ada di Tiongkok bisa saja memilih untuk memindahkan perusahaan mereka ke Vietnam. Akibatnya, Tiongkok akan kehilangan pekerjaan," papar dia.

Sebenarnya, kata Aswin, Indonesia bisa bersaing dengan negara ASEAN lain untuk menggaet kemungkinan relokasi perusahaan AS tersebut. "Namun, jika dibandingkan dengan Vietnam, kita sebenarnya kurang agresif memanfaatkan dampak perang dagang Tiongkok-AS, dalam mendorong perusahaan untuk pindah dan berinvestasi di Indonesia," tutur dia.

Sementara itu, ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan dampak "gencatan senjata" perang dagang bisa berpengaruh positif bagi Indonesia. Sebab, menurut dia, ekspor Indonesia ke AS dan Tiongkok diharapkan kembali normal, khususnya ekspor komoditas yang menjadi bahan baku industri manufaktur di kedua negara itu.

"Jika permintaan kembali normal, harga beberapa komoditas bisa terangkat lagi, misalnya minyak sawit," jelas dia Dengan demikian, imbuh Bhima, ketika ekspor Indonesia membaik, defisit neraca perdagangan bisa ditekan dan berdampak ke penguatan kurs rupiah.

Kurangi Defisit Perdagangan

Terkait dengan "gencatan sejata" perang dagang itu, Gedung Putih mengungkapkan Tiongkok setuju meningkatkan volume impor dari AS, dan dalam 90 hari ke depan kedua negara akan melakukan perundingan untuk mengatasi berbagai masalah lain. Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, AS akan menaikkan tarif impor atas produk Tiongkok menjadi 25 persen.

"Tiongkok setuju membeli lebih banyak produk AS untuk mengurangi defisit perdagangan yang besar, dan Trump setuju tunda kenaikan tarif impor selama 90 hari," tulis pernyataan Gedung Putih itu. Presiden Trump dan Presiden Xi sepakat untuk segera memulai negosiasi perubahan struktural terkait masalah transfer teknologi paksa, perlindungan hak milik kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, intrusi dan pencurian siber, dan pertanian.

Tiongkok setuju membeli sejumlah besar produk pertanian, energi, industri, dan barang lainnya dari AS, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata. "Tapi nilai pasti dari pembelian itu belum disepakati," kata Gedung Putih.

ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top