Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Fiskal | PHRI Ajukan "Judicial Review" soal Kenaikan Pajak Hiburan Sebesar 40-75 Persen

Kenaikan Pajak Hiburan Bebani Ekonomi Daerah

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kenaikan pajak hiburan yang terlampau tinggi dikhawatirkan dapat membebani kinerja perekonomian di daerah sehingga imbasnya bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, pemerintah daerah (pemda) perlu lebih kreatif lagi menggali potensi penerimaan daerahnya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai penerapan pajak hiburan sebesar 40-75 persen yang diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi daerah.

"Kalau pajak yang dinaikkan luar biasa seperti itu, tapi pertumbuhan ekonomi makro masih rendah, pasti berat bagi bisnis pengusaha itu sendiri ataupun bagi konsumen," kata Purwadi, di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (17/1).

Menurut Purwadi, kenaikan pajak hiburan tersebut tidak sejalan dengan kondisi ekonomi makro yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19. Dia menilai pajak hiburan yang tinggi akan memberatkan pengusaha dan konsumen, terutama di kota-kota metropolis seperti Samarinda dan Balikpapan.

"Karena memang kondisi ekonomi kita belum pulih banget, baru pemulihan dari Covid-19," ujar Purwadi.

Purwadi menjelaskan pajak hiburan yang tinggi akan menambah beban konsumen yang menikmati makan, minum, atau belanja produk tertentu. "Soalnya seperti itu yang terjadi, pukulan akhir akan menyasar ke konsumen," katanya lagi.

Purwadi menyatakan pendapatan daerah lebih mengandalkan pajak dan harga barang sebagai sumber pendapatan negara, tanpa memaksimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki.

Purwadi berharap adanya dialog antara pemerintah dan pengusaha untuk mencari solusi yang tidak merugikan semua pihak.

Seperti diketahui, pajak hiburan menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah. Dalam konferensi pers APBN KiTa pada 15 Desember 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pajak daerah tumbuh terutama didorong oleh peningkatan realisasi pajak dari sektor ekonomi yang bersifat konsumtif, seperti pajak hotel, hiburan, restoran, dan parkir.

Adapun penerimaan pajak daerah hingga November 2023 tercatat sebesar 212,26 triliun rupiah atau tumbuh 3,8 persen secara tahunan dari sebelumnya 204,51 triliun rupiah.

"Judicial Review"

Pada kesempatan lain, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan akan mengajukan judicial review terkait ketetapan pajak hiburan yang kini memiliki kisaran 40-75 persen.

Wakil Ketua Umum bidang Organisasi dan Keanggotaan Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI, Yuno Abeta Lahay, mengatakan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) ini karena banyak tempat hiburan yang melekat pada hotel dan restoran.

"Kami sedang melakukan langkah hukum judicial review dan dalam waktu dekat diajukan meski beberapa daerah telah mengeluarkan perda, dan kemarin telah ada diskusi dengan Kemenparekraf, tapi ini kami rasa kurang tepat, harusnya dilibatkan juga Kemenkeu dan Kemendagri," kata Yuno, di Bandung, Jawa Barat (Jabar), Rabu (17/1).

Adapun isi judicial review tersebut, kata Yuno, berbeda dengan gugatan yang dilayangkan Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI), dengan PHRI meminta pasal yang menetapkan besaran pajak 40-75 persen dihapuskan.

"Karena pasal sebelumnya sudah ada yaitu 10 persen, jadi kami minta dikembalikan ke sana saja," ujarnya pula.

Yuno mengatakan dengan besaran tarif pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen untuk hiburan khusus yang tergolong sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) itu, telah memunculkan kekhawatiran dari para pelaku usaha, termasuk di Jawa Barat, mengingat sektor hiburan merupakan penunjang pariwisata.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top