Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pangan - Kebijakan HET Tak Efektif Stabilkan Harga

Kenaikan Harga Pangan Mestinya Untungkan Petani

Foto : ISTIMEWA

>>Sistem ijon dan rentenir mempermainkan harga sehingga merugikan petani.

>> Harga sejumlah pangan di Indonesia jauh lebih tinggi dari harga internasional.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Tren kenaikan harga atau inflasi pangan semestinya dibarengi dengan kenaikan kesejahteraan petani sebagai produsen pangan, antara lain ditandai dengan kenaikan nilai tukar petani (NTP).

Akan tetapi, inflasi pangan yang terjadi dalam tiga bulan pertama tahun ini, justru beriringan dengan penurunan indikator kesejahteraan petani atau NTP sebesar 1,1 persen. Pakar pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan penurunan NTP saat harga pangan melambung disebabkan tidak ada transfer payment dari konsumen di kota ke petani.

Hal ini bisa terjadi karena rantai pasokan yang sangat panjang sehingga keuntungan hanya dinikmati pedagang yang memainkan harga. "Solusinya, kelompok tani bisa memberdayakan dan mengembangkan lumbung pangan. Lumbung pangan fungsinya tidak hanya menyimpan pangan.

Ini bisa menjadi kekuatan jika dikembangkan menjadi lembaga mikro finance dan statusnya menjadi Badan Usaha Desa, karena kalau menyimpan pangan saja kurang menarik," ujar dia, saat dihubungi, Rabu (4/4). Menurut Zainal, lumbung pangan akan mengatasi petani dari persoalan ijon sampai jeratan rentenir.

"Karena ijon dan rentenir lah yang membuat keuntungan petani kecil. Mereka terpaksa menjual dengan harga berapa pun untuk segera menutup pengeluaran operasional, dan utang-utangnya," jelas dia. Sebelumnya, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengungkapkan harga daging sapi, beras, dan beberapa komoditas lainnya di Indonesia telah melambung di atas harga pasar internasional.

Harga makanan eceran sering kali jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di negara tetangga dan negara yang jauh lebih kaya. Harga yang tinggi ini sudah membebani konsumen hingga 98 miliar dollar AS (sekitar 1.342 triliun rupiah) antara 2013 hingga 2015, bahkan melebihi jumlah pungutan Kebijakan Pertanian Bersama Uni Eropa pada konsumen Eropa.

Anggota Dewan Pembina CIPS, Arianto A Patunru, mengemukakan selain melambungnya harga pangan yang memberatkan konsumen, petani justru tidak mendapatkan keuntungan dari hal ini. Sebanyak dua pertiga petani Indonesia adalah konsumen yang terkena dampak dari tingginya harga pangan.

Mereka yang terdampak adalah para petani skala kecil yang mengelola kurang dari 0,25 hektare lahan di Jawa Tengah dan hanya menghasilkan 500 ribu rupiah atau sama dengan 36,35 dollar AS per orang per bulan.

Masalah Tata Niaga

Terkait inflasi, peneliti Indef, Achmad Heri Firdaus, mengatakan tren untuk kelompok bahan pangan dan makanan cenderung selalu lebih tinggi dibanding inflasi umum. Jadi, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) rupanya tidak memengaruhi inflasi pangan. "Kalau dilihat lebih dalam lagi, harga di tingkat eceran bisa jadi terus meningkat.

Tapi kalau dikorelasikan ke NTP, malah semakin turun. Di sini sudah pasti terjadi missed, ada masalah di tata niaganya," papar Heri. Menurut dia, hal itu semakin membuktikan bahwa kebijakan HET untuk sejumlah komoditas pangan sudah tidak relevan lagi. Sebab, pada kenyataanya harga akhir yang diterima konsumen bisa lebih tinggi dari yang sudah ditetapkan pemerintah.

Di sisi lain, harga yang dibeli dari petani tidak menunjukkan keberpihakan, merugikan petani. "Artinya, produk hukum (HET) itu nggak efektif," kata Heri. Dia mengemukakan solusi untuk menstabilkan harga tidak cukup bermodalkan produk hukum, harus ada usaha dari hulu sampai hilir. Dari hulu berupa peningkatan produktivitas pangan.

"Produksi beras, cabai, bawang ditingkatkan dan dipastikan bahwa produksi yang banyak ini bisa sampai ke tangan masyarakat dengan efisien. Artinya, jalan tengahnya, tata niaganya harus dicek lagi efisiensinya," tukas Heri. Kebijakan pemerintah stabilisasi harga dengan cara gampang, yakni impor, juga harus dikurangi karena mematikan petani sehingga mereka enggan bercocok tanam.

"Bergantung impor juga kontraproduktif dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan, yang bersumber dari produk dalam negeri," kata dia.

SB/ahm/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top