Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 20 Sep 2024, 06:25 WIB

Kemunduran Akibat Serangan

Foto: afp/ Mahmud TURKIA

Leptis Magna bersama dengan Sabratha dan Oea, merupakan bagian dari provinsi Romawi Tripolitania (Libia barat modern) dan kota tersebut dijadikan ibu kota provinsi tersebut oleh Kaisar Diocletian (memerintah 284-305 M). Namun, seiring berjalannya abad ke-4 M, kota tersebut semakin menderita akibat serangan oleh suku-suku Afrika utara.

Kota tersebut telah membangun benteng sejak tahun 69 M untuk menangkal serangan oleh suku Berber Garamantes, tetapi pada tahun 365 M Leptis Magna dihancurkan oleh suku Berber Austuriani. Nasib wilayah tersebut membaik pada abad ke-6 M ketika Kekaisaran Bizantium menaruh minat yang lebih besar di Afrika utara, tetapi kepentingan ekonomi kota tersebut kini jauh berkurang dan, sebagai akibatnya, ukuran Leptis Magna pun ikut berkurang. Wilayah perkotaan yang menyusut hingga hanya seluas 38 hektare saja, yang sisa-sisanya dilindungi oleh tembok pertahanan dan masih dapat dilihat hingga kini.

Selama periode Romawi, kota ini diberi status civitas libera et immunis, yang memungkinkan penduduknya untuk hidup relatif mandiri di bawah kekuasaan suphetes asli mereka. Leptis Magna kemudian dimasukkan ke dalam Provinsi Romawi Afrika oleh Kaisar Tiberius, dan berkembang menjadi salah satu pusat kota utama provinsi dan pusat perdagangan dengan seluruh Mediterania dan kota-kota sekitarnya.

Dengan kemerosotan Kekaisaran Romawi pada abad ke-5 M, kota ini sempat jatuh di bawah kendali bangsa Vandal, hingga direbut kembali oleh Kaisar Justinian I dari Kekaisaran Bizantium sekitar tahun 533/4 M.

Pada abad ke-6 M, wilayah Bizantium di seluruh Afrika diserbu selama penaklukan Muslim di Maghreb, yang mengakibatkan Leptis Magna menjadi reruntuhan yang terbengkalai. Selama berabad-abad, kota ini menjadi tempat penjarahan kolonial Inggris dan Prancis.

Pada abad ke-17, 600 tiang dari kota tersebut diangkut oleh Raja Louis XIV dari Prancis untuk melengkapi Istana-istananya di Versailles dan Paris, serta Katedral Rouen dan Biara Saint-Germain-des-Preps.

Pada tahun 1816, seorang perwira Inggris bernama Hanmer George Warrington mengunjungi reruntuhan tersebut bersama seniman Augustus Earle. Ia meyakinkan gubernur Ottoman setempat untuk mengizinkannya memindahkan 25 alas, 15 tiang marmer, 22 tiang granit, 10 kepala tiang, 5 lempengan bertulis dan pecahan batu serta patung untuk diangkut ke Inggris.

Warrington berharap untuk mendapatkan pengakuan serupa seperti Thomas Bruce, Earl of Elgin ke-7, yang dipuji sebagai pahlawan saat itu karena memperoleh setengah dari patung Parthenon yang masih ada dan bangunan lain di Acropolis Athena, yang dijual kepada pemerintah Inggris dan diserahkan kepada British Museum untuk dipajang di Galeri Duveen.

Saat mempersembahkan batu Leptis Magna di Inggris, Warrington mendapati bahwa ia telah salah menilai reaksi pemerintah Inggris dan rekan-rekannya, yang menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak terkesan atau yakin akan nilai, baik estetika maupun intrinsik, dari muatan tersebut.

Batu-batu tersebut akhirnya ditempatkan di halaman depan British Museum selama delapan tahun, hingga pada tahun 1826 diberikan kepada arsitek Raja George IV, Sir Jeffry Wyatville. Wyatville menggunakan batu-batu tersebut untuk membangun sebuah kuil rumit yang diberi nama Kuil Augustus. Nama tersebut kemungkinan merujuk pada nama lengkap sang Raja, George Augustus Frederick. Batu-batu ini kini berada di tanah milik kerajaan di area Kastil Windsor, dekat danau Virginia Water di Taman Windsor Raya saat ini. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.