Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 03 Nov 2021, 07:12 WIB

Kembangkan Pangan Lokal

Petani memilah tomat saat panen ketiga sebelum dijual ke pasar grosir di area persawahan Desa Paron, Kediri, Jawa Timur, Sabtu (30/10/2021). Harga jual tomat pada panen ketiga menurun dibanding panen sebelumnya dari Rp1.700 menjadi hanya Rp1.200 per kilogram.

Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

Sudah lama Bumi Nusantara yang kita diami ini terkenal sebagai daerah yang sangat subur. Sejak Abad XVI, bangsa-bangsa Eropa datang ke nusantara untuk mencari rempah-rempah yang tidak bisa dijumpai di negara asalnya untuk kebutuhan industrinya.

Sampai saat ini, Indonesia tercatat sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 7 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan.

Grup Band legendaris Koes Plus pada tahun 1970-an melukiskan betapa suburnya tanah nusantara dengan menulis lirik:" Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman" dalam lagunya yang berjudul "Kolam Susu".

Namun sayang di negeri yang subur ini, kita mengimpor bahan makanan dalam jumlah sangat besar tiap tahunnya seperti gandum yang kemudian dijadikan tepung terigu sebagai bahan baku membuat mi instan yang tingkat konsumsinya semakin meningkat. Konsumsi mi instan di Indonesia sebanyak 12,6 miliar porsi pada 2020. Ini artinya setiap penduduk Indonesia mengkonsumsi 46,7 porsi mi instan dalam setahun.

Ini sebenarnya riskan sekali. Bagaimana kita menggantungkan sumber makanan kita dari luar negeri. Jika terjadi krisis pangan di negara eksportir, mereka tentu akan mengutamakan kebutuhan dalam negerinya.

Ini dampak negatif yang kurang kita sadari akibat kita terlalu bergantung impor karena perilaku rent seeking oknum-oknum pejabat kita.

Sungguh ironi kita mengimpor bahan makanan di tengah sumber pangan lokal yang berlimpah. Bahkan beberapa pangan yang tumbuh di Indonesia mempunyai banyak keunggulan dibanding pangan impor.

Porang atau iles-iles atau juga dikenal dengan nama konjac yang bisa tumbuh subur di beberapa wilayah di Indonesia di ketinggian hingga 900 meter di atas permukaan air laut, mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Banyak orang mencarinya karena tanaman umbi-umbi ini mempunyai berbagai khasiat untuk kesehatan manusia.

Kemudian sukun yang mempunyai nilai gizi dan manfaat kesehatan berlimpah. Selama ini banyak yang menganggap sukun hanya makanan masyarakat pedesaan, kurang diperhitungkan. Padahal saat ini sukun sudah banyak disajikan di hotel-hotel berbintang lima dengan harga jual yang tinggi.

Dengan melihat potensi pangan lokal seperti porang, sukun, kemudian mocaf, dan sagu, Indonesia seharusnya bisa melakukan swasembada pangan jika serius mau mengembangkan industri pangan lokal.

Selama ini banyak kebijakan terutama impor pangan yang membuat Indonesia makin jauh dari kemandirian. Komitmen untuk membangun kemandirian pangan harus segera ditindaklanjuti dengan menyetop impor berbagai komoditas pangan yang sebenarnya bisa diganti dengan pangan lokal.

Jangan sampai Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang diluncurkan tahun ini, tidak sekadar slogan tetapi benar-benar menjadi titik awal untuk melakukan diversifikasi pangan dengan mensubstitusi pangan impor yang selama ini membanjiri pasar Indonesia dengan pangan lokal.

Redaktur: Koran Jakarta

Penulis: Koran Jakarta

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.