Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kekerasan Seksual

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Tri Wahyuni

Selain sebagai perayaan tahun baru, 1 Januari juga menjadi hari perdamaian sedunia (World Day of Peace). Sayangnya di Indonesia tidak banyak yang mengenal momen ini. Hari Perdamaian Sedunia pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 1968, setelah diperkenalkan oleh Paus Paulus VI sebagai suatu perayaan dalam Gereja Katolik Roma yang didedikasikan untuk perdamaian.

Kekerasan seksual, khususnya terhadap anak dan perempuan, menjadi kejahatan yang menyorot perhatian dunia selama 2018. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres menyebutkan, not until the half of our population represented by women and girls can live free from fear, violence and everyday insecurity, can we truly say we live in a fair and equal world? Tidak sampai setengah dari populasi kita diwakili oleh perempuan dan anak perempuan dapat hidup bebas dari rasa takut, kekerasan dan rasa tidak aman sehari-hari, dapatkah kita benar-benar mengatakan bahwa kita hidup di dunia yang adil dan setara?

Tak ayal pada tahun 2018, Komite Nobel Norwegia juga menaruh perhatian pada hal serupa -- hingga memutuskan untuk memberikan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2018 kepada Denis Mukwege dan Nadia Murad atas upaya mereka untuk mengakhiri penggunaan kekerasan seksual dalam konflik bersenjata atau peperangan.

Denis Mukwege ialah seorang dokter di Kongo yang telah mengabdikan hidupnya untuk membela para korban kekerasan seksual di negaranya. Sedangkan Nadia Murad ialah seorang perempuan Yazidi dari daerah Irak Utara, sosok penyintas yang sebelumnya merupakan korban trafficking dan tindak kekerasan seksual di wilayah konflik bersenjata. Masing-masing dari mereka dengan caranya sendiri telah membantu memberikan visibilitas yang lebih besar terhadap kekerasan seksual waktu perang, sehingga para pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

Di Indonesia, pada 2018, kasus kekerasan seksual juga menjadi sorotan publik. (i) Terkuaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) saat menjalankan program Kuliah Kerja Nyata; (ii) kriminalisasi yang dialami Baiq Nuril, seseorang yang dipersalahkan karena ingin mengungkap pelecehan seksual yang dialaminya melalui media sosial, hingga (iii) pelevehan seksual yang dilakukan oleh oknum pejabat di Dewan Pengawas BPJS Kesehatan terhadap karyawannya merupakan beberapa diantara kasus kekerasan seksual yang begitu menghebohkan di 2018.

Fakta-fakta mutakhir kian menunjukkan kasus kekerasan seksual memang kerap terjadi, namun sukar diungkap. Seperti yang dialami mahasiswi UGM, kasusnya tenggelam setelah satu tahun ditutup-tutupi dan tidak jelas bagaimana pertanggung-jawabannya. Patut diapresiasi Lembaga Pers Mahasiswa UGM, Balairung, mengangkatnya lagi ke permukaan dan menjadi perhatian publik.

Begitupun dengan Baiq Nuril. Ia yang dilecehkan, tapi ia juga yang didenda 500 juta rupiah oleh Mahkamah Agung karena jerat pasal karet UU ITE. Seperti halnya dalam kasus mahasiswi UGM korban dugaan pemerkosaan saat KKN, pelecehan yang dialami Baiq Nuril juga tidak lebih penting nama baik orang yang melecehkannya.

Lembaga dan norma hukum tidak dapat diandalkan untuk bisa mewujudkan keadilan bagi korban kasus pemerkosaan. Di Indonesia, standar pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP menjadikan pengungkapan kasus perkosaan begitu sulit. Kesulitan itu karena tidak mudah mengumpulkan alat bukti, apalagi mencari saksi yang melihat langsung kejadian kecuali saksi korban dan tersangka saja. Sedangkan tersangka, yang sudah bejat munafik pula, akan dengan mudahnya berkelit dan mengatakan "waktu itu kami khilaf" atau "kemarin itu suka-sama-suka". Sungguh ini hegemoni lelaki belaka.

Sementara korban menanggung beban derita begitu berat, dijejali stigma negatif, dan masa depannya diambang kehancuran. Tidak mudah bagi korban pemerkosaan untuk mengungkapkan hal tersebut. Perlu waktu yang lama, menguatkan mental korban untuk bicara.

Mereka Takut

Pada tahun 2016 lalu, Lentera Sintas Indonesia, Magdalene.co dan Change.org melakukan survei terhadap 25.213 responden dan menemukan bahwa: Sekitar 6,5 persen atau 1.636 orang mengatakan pernah diperkosa dan dari jumlah itu, 93 persen mengatakan tidak melaporkan kejahatan tersebut, karena takut akibat-akibatnya.

Alasan utama mereka tidak mau bicara adalah karena stigma sosial, dan para korban takut disalahkan. Banyak juga korban yang tak kuat menanggung hal itu dan memilih bunuh diri.

Temuan ini merefleksikan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

Pada umumnya, korban pemerkosaan baru akan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya ketika sudah hamil atau ketika kandungannya mulai membesar. Karena saat itulah ia sudah tidak mampu menutupinya lagi. Korban tak punya pilihan lain selain pasrah.

Sialnya, sistem hukum kita di Indonesia mengafirmasi kondisi semacam itu. Negara gagal memberikan perlindungan terhadap banyak korban kasus kekerasan seksual.

Meski negara atau lembaga penegak hukum di negeri ini runtuh sekalipun, keadilan bagi masyarakat harus ditegakkan.

Kondisi yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual harus diubah supaya kelak tercapai keadilan, karena sistem hukum kriminal yang disediakan negara gagal memberi rasa keadilan dan pembebasan, malah menciptakan lingkaran setan kekerasan yang tidak berkesudahan (Chatami, 2014).

Pertama, mesti ada lembaga pendamping yang dapat memberikan keamanan dan keselamatan, juga mengupayakan penyembuhan dan perbaikan pada hidup korban kekerasan seksual. Kedua, menggerakkan komunitas untuk mendorong pelaku kekerasan bertanggung jawab atas kesalahannya.

Bentuk tanggung jawab pelaku kekerasan ini termasuk menghentikan tindak kekerasan, membuat komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan, sambil menawarkan untuk perbaikan segala dosa yang telah dilakukan di masa lalu (Chatami, 2014).

Tentunya gerakan ini akan nyala dengan hidupnya komunitas-komunitas yang memiliki visi anti kekerasan seksual. Komunitas-komunitas itu tidak mesti merupakan komunitas perempuan, tapi bisa komunitas apapun. Seperti komunitas seni, olahraga, penulis, pendaki gunung, kelompok arisan, komunitas anti-kantong plastik, dan lain sebagainya.

Penulis peneliti di Institute for Population and National Security

Komentar

Komentar
()

Top