Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi - Dibutuhkan Insentif untuk Pengembangan EBT

Kejar Target, Perlu Kebut Bangun EBT

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, diminta mulai sekarang juga segera mengebut pembangunan pembangkit listrik dari sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) guna mengejar target bauran EBT 2025 sebesar 23 persen dari total kapasitas terpasang.

Pasalnya, realisasi target EBT sesuai komitmen RI di COP 21 Paris, Prancis, itu sampai saat ini dinilai masih sangat minim, sehingga besar kemungkinan tidak tercapai. Untuk itu, pemerintah diharapkan memberikan insentif dan kemudahan guna menarik lebih banyak investasi pada sumber energi bersih tersebut.

Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengemukakan bahwa secara keseluruhan bauran energi, porsi EBT masih kecil. Menurut dia, salah satu masalah lambannya pengembangan energi terbarukan adalah harga keekonomian EBT saat ini masih lebih mahal dari pada harga energi fosil.

Untuk mengatasi masalah itu, semestinya Kementerian Keuangan rela memberikan insentif fiskal, bahkan subsidi bunga investasi, tapi bukan rate incentive yang akan memberatkan konsumen.

"Kemenkeu selama ini terkesan pelit memberikan fiscal insensitives bagi pengembangan EBT, termasuk dalam memberikan fiscal insensitives pada pengembangan mobil listrik," papar Fahmi, ketika dihubungi, Jumat (17/5).

Sebelumnya, Kementerian ESDM diharapkan lebih serius berupaya memenuhi target pemakaian EBT. Sebab, kebijakan Kementerian ESDM selama ini dinilai justru cenderung berpihak pada pengembangan energi kotor dan mahal, seperti PLTU batu bara. Sebaliknya, pengembangan EBT malah dimatikan dengan kebijakan harga beli energi yang jauh di bawah biaya produksi.

Pengamat energi dari Universitas Brawijaya Malang, Suprapto, mengemukakan Menteri ESDM menekan harga pembelian off-take dari EBT jauh di bawah harga produksi, sedangkan untuk energi kotor batu bara diberikan harga mengambang sesuai dengan kenaikan harga pasar batu bara.

Selama 2016 hingga 2019, harga batu bara acuan naik 66 persen menjadi 88 dollar AS per metrik ton. Di sisi lain, pemerintah justru menurunkan harga EBT menjadi sepertiganya. "Ini jelas menjadi bukti keberpihakan komersial hanya kepada kalangan investor energi kotor batu bara," papar Suprapto, Kamis (16/5).

Padahal, sejumlah kalangan menilai sumber energi batu bara selain kotor juga mahal, sehingga pada akhirnya akan merugikan investor karena sulit untuk balik modal yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Indonesia, dalam hal ini PLN, telah terikat ratusan triliun rupiah pada aset-aset sumber energi kotor, terutama PLTU batu bara. Belum lagi tambahan biaya dari sanksi masyarakat global yang dihitung berdasarkan polutan yang dihasilkan.

Dunia kini melawan energi polutif yang membahayakan kesehatan sehingga membuat biaya kesehatan masyarakat makin tinggi, bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Jadi, ini akan memperpendek umur harapan hidup penduduk.

Revisi Aturan

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menegaskan kritikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kepada Menteri ESDM, Ignasius Jonan, soal lambatnya pengembangan EBT di Tanah Air semestinya direspons oleh Kementerian ESDM dengan merevisi aturan yang tidak kondusif bagi investasi energi terbarukan.

Menurut dia, pemerintah harus membuat regulasi yang bisa menarik bagi investor, sehingga pengembangannya semakin efisien. Selama ini, Kementerian ESDM dan PLN memprioritaskan PLTU batu bara dan selalu berkilah karena batu bara murah. ers/SB/WP

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top