Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 11 Sep 2023, 13:32 WIB

Kebijakan ‘Link and Match’ Dinilai tidak Tepat untuk Perguruan Tinggi, Kenapa?

Ilustrasi - Wisudawan Program Sarjana dan Diploma Universitas Gajah Mada (UGM) pada 24-25 Agustus 2022.

Foto: ugm.ac.id

Yogie Pranowo, Universitas Multimedia Nusantara

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggalakkan program Kampus Merdeka dengan semangat link and match untuk mengatasi kesenjangan antara kualifikasi pendidikan dan tuntutan industri.

Link and match adalah kebijakan Kemendikbudristek yang dikembangkan untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan kerja, usaha serta industri.

Salah satunya melalui program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilannya yang komprehensif guna mempersiapkan karirnya kelak.

Namun, kebijakan yang berorientasi pada kesiapan kerja tersebut kurang tepat jika diterapkan pada perguruan tinggi. Link and Match di program Kampus Merdeka lebih cocok untuk pendidikan vokasi. Mengapa?

1. Perguruan tinggi berorientasi teori

Perguruan tinggi memiliki perbedaan mendasar dengan pendidikan vokasi. Perguruan tinggi umumnya memiliki orientasi yang lebih luas dan teoritis, menyediakan berbagai program studi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti ilmu sosial, humaniora, sains, dan seni.

Menurut Sri Shanti Ariani, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), perguruan tinggi memiliki fokus yang lebih luas dari pendidikan vokasi, yakni membantu setiap individu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih bijaksana, penuh empati, bertanggung jawab, serta memiliki kemampuan untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat dan dunia sekitarnya.

Proses pendidikan di perguruan tinggi bertujuan meningkatkan kemampuan refleksi seseorang dalam melihat berbagai persoalan hidup. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia tidak hanya menjalani hidup secara mekanis, tetapi juga memberi arti pada pengalaman-pengalamannya tersebut.

Selain itu, proses pendidikan di perguruan tinggi dapat membantu seseorang memahami bahwa apa yang kita pelajari dan alami tidak hanya berdampak pada diri kita sendiri, tetapi juga pada orang lain.

Sehingga, proses pendidikan di perguruan tinggi melibatkan pendalaman pemahaman dengan cara yang lebih sistematis dan dinamis.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 9 ayat e yang menyebutkan bahwa kompetensi utama lulusan seorang sarjana adalah ia harus menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan dan keterampilan secara umum dan khusus untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan lingkup pekerjaannya.

2. Kebutuhan industri adalah orientasi pendidikan vokasi

Dalam Peraturan Presiden nomor 68 tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi, disebutkan di dalam Bab III, pasal 8 ayat 1 bahwa prinsip dasar penyelenggaraan dan pendidikan vokasi berorientasi pada kebutuhan dunia usaha, berbasis kompetensi dan inklusif.

Artinya, pendidikan vokasi lebih mengutamakan pendidikan yang bersifat praktis dan terapan, khususnya keterampilan yang memiliki relevansi langsung dengan tuntutan dunia kerja.

Program-program yang ditawarkan oleh pendidikan vokasi fokus pada pelatihan keterampilan teknis yang spesifik, seperti teknik, kesehatan, pariwisata dan bidang lainnya.

Tujuan utama dari sekolah vokasi adalah mencetak lulusan yang memiliki kesiapan untuk langsung masuk ke dunia kerja dan memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Karenanya, konsep link & match dari Kampus Merdeka tepat untuk diterapkan di sekolah vokasi.

Perlu kejelasan sejak awal

Di Indonesia, terdapat 3.107 perguruan tinggi, sementara jumlah lembaga pendidikan vokasi hanya berada di angka 1365.

Bandingkan dengan Jepang, misalnya, yang hanya memiliki 807 perguruan tinggi menurut data dari Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT). Jumlah ini jauh lebih sedikit dari pendidikan vokasinya yang mencapai 2721 lembaga.

Padahal, menurut sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2021, baik Indonesia maupun Jepang memiliki tujuan pendidikan yang relatif sama, yakni mengembangkan manusia agar tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter dan berguna bagi masyarakat luas.

Mengacu pada informasi dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, sistem pendidikan di Jepang memiliki kebijakan wajib belajar selama sembilan tahun, yang terdiri dari enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah pertama. Kemudian setelah seseorang menyelesaikan wajib belajarnya, ia dapat memilih apakah ingin melanjutkan ke jenjang vokasi atau studi lanjut ke sekolah menengah atas.

Sejak awal, pemerintah Jepang sudah mengarahkan dengan jelas perbedaan antara jalur pendidikan vokasi dengan jalur sekolah menengah atas - perguruan tinggi. Itulah sebabnya, jumlah pendidikan vokasi di Jepang jauh lebih banyak dari jumlah perguruan tinggi.

Berdasarkan data tersebut, barangkali yang kita butuhkan bukan memaksakan konsep link and match pada perguruan tinggi, tetapi menambah jumlah pendidikan vokasi agar masyarakat dapat leluasa memilih jenis sekolah berdasarkan kebutuhan dan pilihannya masing masing.The Conversation

Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer Studi Humaniora, Universitas Multimedia Nusantara

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.