Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tata Niaga Pangan I Kebijakan HET Dinilai Mengutak-atik Formulasi Distribusi Industri Beras

Kebijakan HET Gagal Stabilkan Harga

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Penerapan harga eceran tertinggi sebagai bentuk intervensi pasar karena mendistori permintaan dan penawaran, justru akan meningkatkan peluang terjadinya kelangkaan komoditas pangan di pasar.

Jakarta - Pemerintah dinilai perlu terlebih dulu menyederhanakan rantai distribusi beras yang panjang di sepanjang wilayah Nusantara sebelum menerapkan kebijakan seperti harga eceran tertinggi (HET). Sebab, penerapan kebijakan seperti HET sudah sejak lama dinilai tidak efektif untuk menstabilkan harga pangan.

"Pemerintah menyebut panjangnya rantai distribusi adalah penyebab tingginya harga beras di Indonesia. Kalau begitu pemerintah harus bisa menyederhanakan rantai distribusi yang panjang dulu sebelum menerapkan harga eceran tertinggi," kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Novani Karina Saputri di Jakarta, Minggu (22/4).

Menurut Novani, penerapan harga eceran tertinggi adalah bentuk intervensi pasar karena sudah mendistori permintaan dan penawaran di pasar. "Hal ini justru akan meningkatkan peluang terjadi kelangkaan komoditas tersebut di pasar," ucapnya.

Salah satu kelemahan kebijakan HET, menurut dia, adalah tidak dihitungnya biaya tambahan seperti biaya transportasi dan biaya tenaga kerja dalam penetapannya.

Dia menambahkan kebijakan terkait beras perlu dibenahi untuk memperkuat kredibilitas pemerintah karena komoditas tersebut adalah bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di Tanah Air.

"Kebijakan terkait beras berdampak besar terhadap kelangsungan perut rakyat Indonesia dan kredibilitas pemerintah dalam menjaga pasokan pangan," kata Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika.

Menurut dia, beberapa kebijakan seperti harga eceran tertinggi (HET), klaim surplus beras, impor beras dan bantuan pangan nontunai (BPT), dinilai mengutak-atik formulasi terkait sisi pasokan dan permintaan industri beras nasional.

Dia memperingatkan sedikit saja salah langkah bisa berakibat fatal dari segi ekonomi dan elektabilitas, terutama mengingat bahwa sekitar 70 persen masyarakat Indonesia adalah segmen menengah ke bawah, dan 70 persen dari pengeluaran segmen tersebut terkait pangan.

Seperti diketahui, besaran HET yang ditetapkan pemerintah untuk beras kualitas medium sebesar 9.450 rupiah per kilogram untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi.

Wilayah Sumatera, tidak termasuk Lampung dan Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan 9.950 rupiah per kilogram, dan untuk Maluku termasuk Maluku Utara dan Papua, HET beras kualitas medium sebesar 10.250 rupiah per kilogram.

Peran Satgas

Sebelumnya, Peneliti Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menegaskan masih tingginya harga beras dalam beberapa waktu belakangan ini mengartikan problem utama ada di rantai pasokan yang masih panjang sehingga banyak mafia pangan bermain. Karenanya, kurangnya pengawasan menjadi celah bagi spekulan bermain.

"Pemerintah sudah punya satgas pangan, tapi fungsinya juga tidak terdengar lagi. Pemerintah harus benahi lagi rantai pasok, bila tidak harga beras tidak akan turun, sehingga memicu inflasi," tegasnya di Jakarta, Minggu (4/3).

Baca Juga :
Intervensi Pasar

Selain menyoroti soal meredupnya peran satgas pangan, Indef juga menyoalkan kemampuan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam impor. Soalnya, awalnya kesepakatan impor 500 ribu ton beras tapi faktanya cuma di impor 261 ribu ton beras.

ers/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Antara

Komentar

Komentar
()

Top