Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Kasus Montara di Laut Timor

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Ada yang patut diapresiasi, di tengah gersangnya rasa tanggung jawab korporasi ekstraktif terhadap lingkungan hidup di mana pada Maret 2018 pemerintah RI tegas memboikot investasi PT TEP sebelum menuntaskan tanggung jawab lingkungan akibat bocornya kilang Montara. Tragedi ini membuat ratusan ribu rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) sembilan tahun belakangan dirundung malapetaka.

Ini termasuk ledakan kilang minyak terburuk dalam sejarah Australia (one of Australia'sworst oil disasters) yang dioperasikan PT TEP Australasia Pty Ltd. Tumpahannya mencapai wilayah teritorial Indonesia dan mencemari 13 perairan kabupaten/kota di NTT. Bagi Indonesia, kejadian itu membawa dampak kerusakan lingkungan yang besar, di antaranya kerusakan hutan mangrove seluas 1.200 hektare.

Kerusakan padang lamun seluas 1.400 hektare, dan kerusakan terumbu karang seluas 700 hektare (sumber: data Kemenko Kemaritiman). Belum lagi merebaknya penyakit kulit yang dialami warga NTT akibat pencemaran lingkungan laut tersebut. Sebelum meledaknya kilang minyak Montara pada Agustus 2009, sebuah desa di Kupang, NTT, bisa menghasilkan lebih dari 500 ribu ton rumput laut per tahun.

Rumput laut yang dihasilkan pun terbaik. Pada tahun 2008, rumput laut di Kupang dihargai 23.000 rupiah perkilogram. Pascaledakan kilang minyak, produksi rumput laut terjun bebas. Pada tahun 2010 hingga 2014, produksi rumput laut warga nol ton per tahun. Pada 2015 produksi rumput laut kembali diperjuangkan warga, tapi hanya mampu 200 ribu ton dengan harga 500 rupiah perkilogram.

Tahun 2016, produksi rumput laut pun tak mampu lagi dipertahankan. Produksi kembali jadi nol ton per tahun. Pada tahun 2015, Aliansi Pengacara Australia merilis laporan berjudul "After the Spill." Laporan tersebut merinci lebih dari 250 halaman dampak pada komunitas kecil dan miskin di wilayah Indonesia akibat ledakan kilang Montara.

"After the Spill" mendokumentasikan penampakan ikan mati, minyak, serta kondisi kulit dan keracunan makanan yang diderita penduduk setempat. Lalu menyoroti petani rumput laut telah terdampak dan pemerintah Australia gagal untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang harusnya bertanggung jawab.

Mutlak

Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengajukan gugatan atas kasus tersebut. Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, gugatan terhadap perusahaan yang mengoperasikan kilang minyak Montara terdaftar dalam perkara No 241. Pada tahap awal, kasus ini diagendakan masuk proses mediasi di Pengadilan.

Pada 17 Desember 2017 diberitakan bahwa tergugat dalam perkara kerugian atas pencemaran kilang minyak Montara menolak tawaran mediasi. Lempar tanggung jawab terjadi antara anak perusahaan dan induknya. Dalam kasus ini, tergugat I yakni PTTEP Australasia Pty Ltd merupakan pengelola ladang minyak mentah di perairan Austalia.

Sementara itu, tergugat II adalah PTT Exploration and Production Ltd yang merupakan induk usaha dari tergugat I. Sementara itu, PTT Exploration and Production tidak bertanggung jawab atas operasional tergugat I. PTT Exploration and Production sebagai perusahaan milik negara (Thailand) hanya berstatus pemegang saham PTTEP Australasia Pty Ltd

. Dengan begitu, PTT Exploration and Production mengklaim tidak tahu-menahu mengenai operasional dari PTTEP Australasia Pty Ltd. Adapun PTT Public Company Ltd sebagi tergugat III adalah holding group dari PTT Exploration and ProductionLtd. Perusahaan ini juga mengatakan bahwa mereka tidak ikut campur masalah operasional PTTEP Australasia Pty. PTT Public Company hanya berstatus sebagai pemilik saham PTT Exploration and Production Ltd, bukan pada PTTEP Australasia Pty.

Alibi-alibi klise tersebut diutarakan perusahaan pengelola kilang minyak Montara untuk menghindari tanggung jawab. Namun penolakan atas mediasi tetap akan membawa kelanjutan kasus ke meja hakim. Dalam konteks pencemaran laut ini kita berharap ada penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) yang mesti hadir terlebih dahulu, tanpa perlu pembuktian kesalahan.

Pasal 1365 KUH Perdata mengakomodasi kerusakan lingkungan hidup akibat pencemaran yang mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3) dan mengancam kesehatan manusia. Bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi. Ketentuan a quo dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban mewajibkan adanya unsur kesalahan.

Dalam hal pihak korban yang ingin mengajukan gugatan wajib membuktikan kesalahan pihak pencemar. Bila dilihat dari beban pembuktian dalam kasus-kasus pencemaran yang mengandung limbah B3 sangat sulit untuk mengumpulkan alat-alat bukti, terlebih lagi dalam membuktikan zat kimia. Proses ini memerlukan biaya yang lumayan mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah.

Baca Juga :
Letusan Semeru

Secara teoritik perkembangan asas tanggung jawab langsung yang telah diatur dalam hukum materiil. Pasal 88 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 megaskan, kegiatan usaha yang menghasilkan B3 dan menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup adalah bertanggung jawab mutlak atas kerugian, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Marlis Kwan, Analis Fair Bussines for Environment, Alumnus UNSW Sydney, Australia

Komentar

Komentar
()

Top