Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kapolri Baru Harus Memiliki Komitmen Mereformasi Kepolisian

Foto : Istimewa.
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kapolri yang baru harus memiliki komitmen mereformasi kepolisian secara menyeluruh. Sehingga, Polri benar-benar menjadi institusi penegak hukum yang diharapkan publik.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus AT Napitupulu dalam keterangan tertulisnya yang diterima Koran Jakarta, Rabu (20/1).

Seperti diketahui, pada Rabu (13/1), Presiden Jokowi telah mengirimkan surat presiden (surpres) berisi calon tunggal Kapolri atas nama Komisaris Jenderal (Komjen) Listyo Sigit Prabowo yang saat ini menjabat sebagai Kabareskrim Polri, kepada DPR. Selanjutnya, calon tunggal Kapolri tersebut akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di komisi III atau Komisi Hukum DPR pada Rabu (20/1).

"ICJR mengingatkan Kepolisian memiliki peranan penting dalam proses tercapainya keadilan sehingga diharapkan Kapolri terpilih mampu menyusun langkah strategis untuk mengatasi berbagai tantangan penegakan hukum di Indonesia," kata Erasmus.

Menurut Erasmus, ada beberapa aspek penting yang harus menjadi catatan Kapolri ke depannya. Pertama, terkait akuntabilitas. Kapolri yang terpilih selanjutnya harus memastikan bahwa prinsip akuntabilitas dijalankan oleh institusi Polri.

Salah satu caranya adalah membuka ruang terhadap kritik, masukan maupun pengawasan eksternal yang dilakukan oleh lembaga lainnya, baik dari lembaga negara seperti Komnas HAM, Kompolnas, Ombdusman maupun dari organisasi masyarakat sipil. Selain itu, Kapolri selanjutnya juga harus fokus pada agenda pemberantasan korupsi, baik itu di internal maupun eksternal institusi kepolisian.

"Masyarakat masih menilai bahwa praktik suap dan pungutan liar masih terjadi ketika berurusan dengan polisi," ujarnya.

Kedua, kata dia, Kapolri yang baru harus berani dalam mereformasi institusi kepolisian sebagai bagian mendukung nilai-nilai demokrasi. Misalnya, menahan diri khususnya dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kepolisian harus berdiri secara imparsial dalam menindak pelaku. Dan tidak boleh menjadi alat kekuasaan politik manapun.

"Kapolri baru harus memastikan bahwa Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Perkap 8/2009 dijalankan oleh setiap anggota, baik di pusat maupun daerah," tuturnya.

Ketiga, lanjut Erasmus, kepolisian juga harus berbenah dan berusaha menahan diri dari excessive use of force atau penggunaan kekuatan secara berlebihan. Hal itu tercermin dalam cara aparat kepolisian menangani aksi unjuk rasa damai, seperti Reformasi Dikorupsi 2019 maupun Mosi Tidak Percaya 2020. Korban yang menjadi sasaran kekerasan kepolisan bukan hanya peserta unjuk rasa, melainkan juga para jurnalis atau wartawan yang seharusnya mendapatkan jaminan akses peliputan dan perlindungan dalam bertugas meliput berita.

"Selain itu, masih juga ditemukan praktik penyiksaan maupun unlawful killing, sampai dengan extra judicial killing yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Namun sayangnya, kasus-kasus tersebut minim evaluasi atau umunya hanya diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana," urainya.

Keempat, kata Erasmus, untuk menyambut agenda RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang masuk dalam Prolegnas Priotitas 2021, maka polisi harus turut aktif dalam melindungi korban kekerasan seksual. Sebab masih banyak ditemui kasus, dimana Polisi tetap melanjutkan proses pidana bagi korban-korban kekerasan seksual. Kapolri baru juga harus mulai menyusun aturan-aturan internal untuk memastikan koordinasi dan penyediaan layanan bagi korban kekerasan seksual yang melapor ke polisi secara komprehensif. Seperti layanan Kesehatan darurat dan pemulihan lainnya.

"Kelima, Kapolri baru juga harus mendorong pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice dalam menjalankan tugasnya selaku aparat penegak hukum," katanya.

Polisi, menurut Erasmus, perlu untuk melihat perlindungan korban dan meyeimbangkannya dengan pemulihan bagi pelaku. Seperti halnya menggunakan kewenangan diskresi untuk menyelesaikan perkara berdasarkan aturan yang berlaku. Memaksimalkan asesmen penyalahguna dan pecandu narkotika. Penyelesaian kasus tindak pidana yang melibatkan anak dengan mekanisme diversi atau penyelesaian di luar sistem peradilan pidana konvensional. Serta memperhatikan dan menghitung kerugian korban dalam suatu tindak pidana.

"Kepolisan merupakan salah satu lembaga yang paling banyak mendapatkan catatan terkait sector pembaruan sektor peradilan di Indonesia. Masalah-masalah yang menajadi sorotan Presiden seperti Rutan dan Lapas yang overcrowding juga dapat terselesaikan apabila Kepolisian dapat melakukan reformasi secara menyeluruh," ujarnya.

Maka, kata Erasmus, berdasarkan pentingnya peran itu, ICJR meminta agar DPR dengan sungguh-sungguh memastikan komitmen reformasi menyeluruh ini dimiliki oleh Kapolri yang baru. ags/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top