Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keamanan Pangan

Kandung Bahan Berbahaya, Masyarakat Diimbau Kurangi Konsumsi Mi Instan

Foto : Sumber: World Instant Noodles Association - KORAN
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Masyarakat diimbau mengurangi konsumsi mi instan karena sangat berbahaya bagi kesehatan. Apalagi Indonesia tercatat sebagai konsumen terbesar kedua mi instan di dunia, sedangkan bahan bakunya yakni terigu dan gandum harus dipenuhi dengan impor.

Dengan demikian, Indonesia banyak menghabiskan devisa untuk bahan bakunya, namun kandungan gizinya rendah, malah ada zat berbahaya yang membahayakan kesehatan terkandung dalam produk tersebut.

Data dari World Instan Noodles Association (WINA) tahun 2021 menunjukkan Indonesia merupakan negara kedua konsumen mi instan terbesar di dunia dengan konsumsi sebanyak 13,27 miliar bungkus atau 11,2 persen dari konsumsi mi instan dunia yang sebesar 118,18 miliar bungkus. Produksi mi instan dalam negeri pada tahun lalu mencapai 1,2 juta ton dengan volume ekspor sebesar 153 ribu ton atau senilai 246 juta dollar AS.

Ketua Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), Intan Nur Rahmawanti, yang diminta pendapatnya mengatakan penolakan tiga negara terhadap produk mi instan Tanah Air semestinya jadi perhatian serius pemerintah. Sebab, satu dari empat hak dasar konsumen adalah keamanan.

"Dalam UU Perlindungan Konsumen, dan Konvensi Internasional tentang Hak Konsumen diatur mengenai Hak atas Keselamatan dan Keamanan dalam mengonsumsi pangan, hal ini belum tercapai di Indonesia. Apalagi sekarang ada kasus obat sirup yang diduga menjadi penyebab gangguan ginjal pada anak, disusul kasus mi instan produk nasional yang ditolak tiga negara yang kandungannya mirip dengan kandungan obat sirop itu," papar Intan.

Dia mengingatkan bahwa konsumsi mi instan di kalangan anak dan remaja Indonesia sangat tinggi. Padahal berbagai artikel ilmiah sudah menjelaskan bahwa konsumsi mi instan, sama sekali jauh dari kecukupan gizi bahkan berbahaya bagi tumbuh kembang anak. "Apalagi kita tahu 100 persen bahan baku mi instan itu impor. Devisa habis, kandungan gizi rendah, malah sekarang ada ancaman kandungan zat yang membahayakan kesehatan," papar Intan.

Regulasi Beragam

Sementara itu, Pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Purwiyatno Hariyadi, mengatakan regulasi tentang etilen oksida di berbagai negara penerapannya memang beragam, terdapat negara yang melarang penggunaannya, namun ada juga yang masih memperbolehkan penggunaannya.

"Indonesia termasuk negara yang melarang penggunaan etilen oksida untuk pestisida/zat aktif pestisida dan bahan pangan (fumigasi), namun masih menggunakannya untuk sterilisasi alat-alat kesehatan," terang Purwiyatno seperti dikutip dari Antara.

Dengan adanya regulasi yang beragam tersebut maka batas maksimum residu (BMR) pada pangan juga berbeda-beda di masing-masing negara. Salah satu wilayah yang menerapkan regulasi BMR paling ketat adalah Uni Eropa. "Terdapat pula berapa negara belum menetapkan BMR, sehingga BMR yang ditetapkan masing-masing negara berbeda, yaitu ada yang menetapkan 0.01 ppm atau bahkan ada yang mempersyaratkan tidak terdeteksi," papar Purwiyatno.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top