Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

"Kami Semua Siap Berjuang dan Tidak Takut Mati"

Foto : Koran Jakarta / Selocahyo

Harus Diamputastasi - Mantan pejuang, Moekari, di tempat tinggalnya Perumahan Brimob, Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Dalam pertempuran, Moekari kehilangan kaki kirinya karena harus diamputasi.

A   A   A   Pengaturan Font

Setidaknya 15 ribu pejuang arek-arek Suroboyo tewas dan 200 ribu warga sipil mengungsi dari Surabaya ketika pertempuran antara Indonesia dan sekutu pecah 10 November 1945. Dalam perhitungan musuh, Surabaya akan jatuh dalam waktu 2-3 hari, namun para pejuang di Surabaya dengan senjata seadanya mampu bertahan melawan persenjatan berat dan pesawat pembom musuh hingga akhir November 1945.

Satu dari sedikit saksi mata perang 10 November yang masih hidup adalah Moekari (94 tahun), mantan anggota pasukan berani mati bentukan Jepang, Tokubetsu Keisatsu Tai. Moekari mungkin satu-satunya saksi mata yang terlibat dalam perang 21 hari melawan sekutu yang terjadi sejak 10 November 1945. Dia mengikuti pertempuran itu sejak awal hingga rangkaian Agresi Militer Belanda II pada 1949.

Moekari yang tengah menjalani perawatan di rumah sakit karena gangguan pada lambung itu mengisahkan, peristiwa bermula setelah Proklamasi, saat bala tentara sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris dan Gurkha (India dan Pakistan) datang ke Indonesia pada 25 Oktober 1945 untuk melucuti pasukan Jepang.

"Selain melucuti, Inggris juga membebaskan semua orang Belanda yang ditawan Jepang. Setelah dibebaskan, banyak masalah muncul. Mereka sering berulah dan membuat warga geram. Masalah kecil jadi besar dan tidak pernah merasa bersalah kalau membuat onar. Para interniran (orang-orang Belanda) ini sering bertindak seenaknya, seperti merasa telah berkuasa lagi," ujarnya.

Dia melanjutkan, setelah itu kerap timbul bentrokan antara tentara Inggris dan arek-arek Suroboyo. Hingga puncaknya terjadi kontak senjata antara pejuang dan sekutu di kawasan Jembatan Merah, yang mengakibatkan tewasnya pimpinan AFNEI, Brigjen AWS Mallaby.

Pengganti Brigjen Mallaby, Mayjend Robert Mansergh, menyebarkan ultimatum lewat udara yang berisi agar seluruh masyarakat Surabaya, terutama yang memegang senjata menyerahkan senjata. Waktu penyerahan ditentukan mulai pada 9 November pukul 18.00 hingga pukul 06.00 keseokan harinya (10 November). Jika hal itu tidak dilakukan, Surabaya akan digempur habis-habisan dan dihancurkan dari laut, udara, dan darat.

"Waktu itu saya diperintahkan mengumpulkan pamflet-pamflet itu untuk dibakar, supaya masyarakat tidak panik. Hari itu juga pengungsian besar-besaran terjadi, anak-anak dan wanita dibawa dengan truk dan kereta api ke luar Surabaya. Warga merasa sangat terhina, mereka serentak menolak menyerah, dan siap habis-habisan," papar Moekari.

Siapkan Pasukan

Moehammad Jasin selaku Komandan Polisi Istimewa atau kala itu juga dikenal sebagai Polisi Republik Indonesia (PRI) , mulai menyiapkan pasukan. Dia mengisahkan, para pemuda hanya memiliki perlengkapan terbatas namun tetap memiliki keberanian dan semangat untuk berjuang. Untuk memberikan semangat kepada arek-arek Suroboyo, semua anggota PRI melakukan konvoi keliling kota dengan membawa senjata yang mereka miliki sambil berteriak 'merdeka, merdeka, merdeka atau mati'.

"Kalau ingat saat itu saya merinding dan terharu. Perang di depan mata, dan betapa kita semua sudah siap berjuamg dan tidak takut mati. Buat apa takut, bahkan bangga bisa jadi bagian dari pertempuran. Waktu itu kata 'merdeka' bukan sembarangan, tapi benar-benar punya arti. Di sini kami sadar betapa mahalnya kemerdekaan. Kalau saya mati, syahid, karena ini perang suci," tuturnya.

Moekari mengisahkan, pukul 10 pagi 10 November 1945, Inggris menepati janjinya. Surabaya diserbu secara frontal dari segala penjuru, menyebabkan kota itu terkoyak dan luluh lantak. Dua seksi PRI dikerahkan di garis terdepan, di daerah Surabaya utara, termasuk Moekari. Mereka bergerak dari Jalan Bubutan ke tengah kota.

Setelah itu pertempuran terus berlangsung dengan sengit di segala penjuru kota. Salah satu lokasi pertempuran paling heroik dan dramatis adalah di kawasan Alun-alun Contong, Bubutan atau yang kini menjadi komplek Tugu Pahlawan.

Moekari menambahkan setelah tiga minggu pertempuran, kota tidak mungkin dipertahankan. Semua pasukan diperintahkan mundur. Pasukan di bawah pimpinan M Jasin mundur sampai Buduran, Sidoarjo bagian kota dan terus mengarah ke Malang. Sedangkan pasukan yang dipimpin R Soejipto Danu Kusumo mundur dari arah Sepanjang, Krian, menuju Mojokerto.

Dalam salah satu pertempuran Agresi Militer II di Pabrik Gula Pagotan Madiun, Moekari bersama rekan-rekannya terjebak dalam kepungan pasukan Belanda. Sebanyak 13 pejuang tewas. Moekari terkena lima tembakan senapan mesin. Akibatnya, kini Moekari kehilangan kaki kirinya karena saat itu harus diamputasi.

selocahyo/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top