Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kacau, Parpol Ajukan Calon Menteri

A   A   A   Pengaturan Font

Sudah sering terdengar, "Tidak ada makan siang gratis." Pernyataan ini banyak berlaku dalam kehidupan politik Tanah Air. Banyak makna (negatif ) yang terkandung di dalam kalimat tersebut. Salah satunya bisa dilihat dalam praktik politik Pilpres 2019. Banyak partai politik (parpol) pendukung atau pengusung Joko Widodo (Jokowi) mulai mengajukan nama-nama agar dijadikan menteri.

Parpol pengusung tidak mau gratisan mendukung Jokowi. Mereka mau menagih imbal balik berupa jatah menteri sebagai balas budi Jokowi yang telah dimenangkan dalam Pilpres 2019. Maka tak heran, ramai-ramai ketua umum parpol belakangan santer mengajukan nama-nama kepada Jokowi agar memilih mereka menjadi menteri atau anggota kabinet yang akan diumumkan Oktober nanti.

Namun, benarkah langkah ini secara sistem presidensial? Sebenarnya sikap para ketua umum parpol yang mengajukan nama-nama untuk menjadi menteri jelas "menyalahi" sistem presidensial karena menentukan anggota kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Dengan kata lain, sebenarnya Jokowi bisa saja mengabaikan nama-nama yang diajukan ketua umum partai. Jokowi bisa memilih sendiri orang-orang yang menurutnya kapabel menjadi menteri.

Hanya, beranikah Jokowi mengabaikan seluruh nama yang diajukan ketua partai, lalu memilih sendiri daftar menterinya? Rasanya sulit bagi Jokowi untuk menghindari tekanan ketua partai. Hal itu dapat dilihat dari pengalaman periode pertama 2014-2019. Ketika itu, Jokowi selalu menekankan, koalisi tanpa syarat. Namun nyatanya, ketika memilih menteri, dia tak bisa mengelak dari tekanan ketua parpol.

Apalagi sekarang, pada periode kedua, yang nyata-nyata memerlukan dukungan kuat koalisi dalam meraih kursi presiden. Lagi pula, sepertinya Jokowi tak lagi berani mengatakan "koalisi tanpa syarat". Jadi, walaupun menyalahi sistem presidensial, pengajuan nama oleh ketua partai, mau tidak mau akan diakomodasi Jokowi.

Hanya, Jokowi perlu memilih orang-orang baru. Jangan orang-orang itu saja. Orang yang sudah pernah menjadi menteri, janganlah dipilih lagi. Apa pun jasanya. Ini selain membosankan melihat orang-orang itu saja, perlu juga penyegaran dalam kabinet. Berilah kesempatan orang lain. Ada banyak orang Indonesia yang bisa menjadi menteri.

Apalagi dari Orba, Reformasi, hingga sekarang terus saja diangkat menjadi menteri. Mereka sudah generasi gaek. Sebaiknya, seperti dikatakan Jokowi sendiri, kabinet banyak diisi tenaga muda. Asal jangan tenaga muda dari partai yang rekam jejaknya tidak memiliki kapabilitas, tetapi sekadar mencari pekerjaan.

Koalisi memang di satu sisi telah menguntungkan Jokowi karena membantu secara vital meraih kursi presiden. Namun, diakui atau tidak, koalisi juga telah menelikung Jokowi, sehingga tidak bebas 100 persen dalam menentukan anggota kabinet.

Okelah, Jokowi tidak mungkin mengelak memberi jatah parpol. Namun, sebaiknya Jokowi membatasi diri memilih menteri dari parpol. Jangan lebih dari dua orang untuk tiap parpol. Apalagi parpol gurem yang tidak berjasa apa-apa, hanya menyatakan mendukung Jokowi, tidak perlu diberi jatah menteri. Parpol yang tidak masuk parlemen jangan dijatah. Dengan demikian akan banyak menteri berasal dari kaum profesional, bukan politikus yang bekerja mendua karena harus memikirkan memberi keuntungan partai, sehingga tidak fokus.

Dilema ini harus dapat dilewati dengan cerdas dan cermat agar jangan salah memilih menteri, sehingga harus diganti di tengah jalan. Rakyat berharap nama-nama anggota kabinet benar-benar orang yang tepat, kapabel, mau bekerja keras, jujur, kredibel, muda, dan sehat. Setop menteri-menteri yang sudah tua.

Komentar

Komentar
()

Top