Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Konflik di Myanmar

Junta Dituduh Lakukan Kejahatan Perang

Foto : AFP

Kelompok Etnik | Sejumlah anggota kelompok etnik minoritas bersenjata yang tergabung dalam Ta’ang National Liberation Army (TNLA) dengan menumpang kendaraan bak terbuka menuju garis depan bentrokan dekat Kota Namhsan, Negara Bagian Shan utara pada 13 Desember lalu. Pada Kamis (21/12), Amnesty International melaporkan bahwa junta di Myanmar diduga telah melakukan kejahatan perang. 

A   A   A   Pengaturan Font

YANGON - Militer Myanmar kemungkinan besar telah melakukan serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil dan menggunakan munisi tandan yang dilarang dalam perjuangannya melawan pemberontak etnis minoritas, kata Amnesty International pada Kamis (21/12).

Laporan penyelidikan Amnesty International ini merupakan yang terkini atas dugaan kejahatan perang.

Junta menghadapi tantangan medan perang terbesarnya sejak kudeta tahun 2021 , dengan serangan pemberontak terkoordinasi terhadap pos-pos militer di Negara Bagian Shan, yang berbatasan dengan Tiongkok, dan di Negara Bagian Rakhine bagian barat.

Serangan udara di Negara Bagian Shan pada awal Desember menggunakan bom yang kemungkinan besar merupakan munisi tandan, kata Amnesty International dalam sebuah pernyataan, mengutip bukti yang dianalisis oleh penyelidik senjatanya.

Menurut Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang, salah satu dari tiga kelompok di Aliansi Tiga Persaudaraan, serangan itu menewaskan seorang warga dan melukai lima orang.

Warga sipil di Pauk Taw, Negara Bagian Rakhine, mengalami penjarahan, penangkapan sewenang-wenang, perlakuan tidak manusiawi dan penyiksaan, kata Amnesty International, mengutip wawancara dengan 10 warga sipil.

"Militer Myanmar kembali melakukan serangan tanpa pandang bulu yang berlumuran darah dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi warga sipil, dan respons brutal mereka terhadap serangan besar-besaran oleh kelompok bersenjata merupakan pola yang sudah berlangsung lama," kata Matt Wells, direktur Program Tanggap Krisis Amnesty International.

Bantahan

Sejauh ini junta yang berkuasa di Myanmar telah membantah pasukan negara menargetkan warga sipil dalam operasi yang disebutnya sebagai tindakan sah terhadap teroris.

Lebih dari 300.000 orang telah melarikan diri dari pertempuran yang meletus pada akhir Oktober, dengan lebih dari dua juta orang mengungsi secara keseluruhan sejak kudeta, menurut PBB.

Kudeta tersebut menghancurkan satu dekade demokrasi dan reformasi, dengan kemarahan atas tindakan keras militer yang memicu gerakan perlawanan dan intensifikasi pertempuran dengan pemberontak etnis minoritas.

Beberapa waktu lalu, Tiongkok mengatakan pihaknya memediasi gencatan senjata antara pemberontak dan militer, meskipun aliansi tersebut mengatakan kampanyenya akan terus berlanjut.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan sebelum laporan Amnesty International, aliansi tersebut mengatakan bahwa militer secara teratur mengancam warga sipil, termasuk melalui penangkapan sewenang-wenang, penggunaan perisai manusia dan penyiksaan.

Secara terpisah, pada 21 Desember, Human Rights Watch yang berbasis di New York, AS, menuduh salah satu kelompok aliansi pemberontak menculik dan merekrut secara paksa warga sipil yang melarikan diri di Negara Bagian Shan.

"Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) melanggar hukum perang," kata Elaine Pearson, direktur Human Rights Watch Asia.

"Warga sipil harus bisa mencari keselamatan dari pertempuran tanpa takut militer Myanmar atau kelompok etnis bersenjata akan memaksa mereka masuk tentara," imbuh dia. ST/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top