Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Jung Jawa, Kapal Raksasa yang Punah

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Di masa lalu, masyarakat pesisir utara Jawa memiliki kemampuan tinggi mengarungi lautan. Kerajaan Jawa seperti Majapahit, Kesultanan Demak dan Kesultanan Kalinyamat, mengandalkan kapal raksasa dengan nama jung yang memiliki bobot mati antara 1.200-1.400 ton.

Menurut sejarawan Paul Pelliot dalam buku Les Grands Voyages Maritimes Chinois au Début du XVe Siècle, kata jung bukan berasal dari Tiongkok. Demikian juga menurut Waruno Mahdi dalam buku berjudul Malay Words and Malay Things: Lexical Souvenirs from an Exotic Archipelago in German Publications Before 1700 (2007) menyatakan bahwa kata yang tepat jung adalah "jong" dalam bahasa Jawa yang artinya kapal.
Kata jong menurut pendapat Waruno ditemukan pada prasasti Jawa kuno abad ke-9. Kata ini masuk bahasa Melayu dan bahasa Tiongkok pada abad ke-15. Daftar catatan kata-kata Tiongkok mengidentifikasikan kata itu sebagai kata Melayu untuk kapal. Waruno menyebut orang-orang Nusantara biasanya menyebut kapal Tiongkok yang besar sebagai "wangkang", sedangkan yang kecil sebagai "top".
"Undang-Undang Laut Melaka, peraturan maritim yang disusun oleh pemilik kapal Jawa di Melaka pada akhir abad ke-15, menggunakan kata jong untuk menyebut kapal pengangkut barang," ungkap Anthony Reid dalam buku Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (2000).
Tulisan-tulisan Eropa antara 1345 hingga 1609 menggunakan berbagai istilah terkait jung. Bahasa Prancis menggunakan jonque, Italia; ioncque, ionct, giunchi, zonchi, Spanyol; iuncque, joanga, juanga, Portugis; junco, dan Belanda; ionco, djonk, jonk.
Melihat besarnya kapa-kapal jung, membuat para pelaut Portugis yang mencapai perairan Asia tenggara kagum. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis jadi kota bagi orang Jawa.
Pelaut Portugis, Tome Pires, yang menulis kompendium (ringkasan) berjudul Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins pada 1512-1515, menyebutkan kapal Portugis yang telah berhasil berlayar dari Eropa dibuat kerdil oleh kapal Jung Jawa. Ia menyebutkan kapal Portugis terbesar yang ada di Malaka pada 1511 bernama Anunciada, terlihat tidak sebanding bila disandingkan dengan jung Jawa.
Dalam buku karya Pierre-Yves Manguin (1993) berjudul Trading Ships of the South China Sea. Journal of the Economic and Social History of the Orient, tonase jung Jawa setidaknya adalah 1.000 ton. Sedangkan menurut Irawan Djoko Nugroho dalam buku Majapahit Peradaban Maritim (2012) memperkirakan ukuran jung Jawa dimensi besarnya 4-5 kali dari kapal Flor de la Mar.
Sebagai perbandingan, kapal terbesar Portugis yang berada di Malaka pada 1511 memiliki dimensi panjang 69-78,3 meter. Ini berarti ukuran jung Jawa diperkirakan memiliki panjang adalah 313,2-391,5 meter.
Sebelumnya penjelajah Italia, Niccolò da Conti, yang melakukan perjalanan dari 1419-1444, mendeskripsikan kapal jung mampu mencapai berat 2.000 ton, dengan lima layar dan tiang. Di Malaka, banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Bahkan banyak tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia tenggara itu.
Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik yang belakangan dikenal dengan sebutan "Kapal Borobudur". Mereka menciptakan kapal jung yang berbentuk cenderung membulat daripada lancip seperti halnya jung.
Layar jung terbuat dari terbuat dari tikar tenunan yang diperkuat dengan bambu, setidaknya dalam beberapa ratus tahun sebelum masehi. Orang Tiongkok meniru layar jenis ini, setelah mempelajarinya dari para pelaut Austronesia yang mengunjungi pantai selatan sekitar abad ke-12 M.
Selain jenis layar ini, mereka juga membuat layar lug yang seimbang atau yang biasa disebut layar tanja. Penemuan layar-layar jenis ini membuat mereka bisa berlayar hingga di sekitar pantai barat Afrika karena kemampuannya untuk berlayar melawan angin.
Penulis dan penjelajah bangsa Portugis, Duarte Barbosa, melaporkan bahwa kapal-kapal dari Jawa, yang memiliki empat tiang, sangat berbeda dari kapal Portugis. Terbuat dari kayu yang sangat tebal dan ketika kapal menjadi tua, mereka memperbaikinya dengan papan baru dan dengan cara ini mereka memiliki tiga hingga empat papan penutup, ditumpuk berlapis.
Konstruksi kapal Nusantara sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut atau paku besi. Tinggi haluan dan buritan kapal berbentuk lancip, dilengkapi dengan dua batang kemudi yang menyerupai dayung.
Kapal jung Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok karena lambungnya dikencangkan dengan pasak-pasak kayu dan bukan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Nicholas Tarling dalam buku The Cambridge History of Southeast Asia (1999) menulis untuk membuat jung dibutuhkan keahlian dan material yang belum tentu terdapat di banyak tempat. Kapal raksasa dari kayu jati itu hanya diproduksi di 2 tempat di sekitar Jawa yaitu di Cirebon dan Rembang-Demak dan di Selat Muria yang memisahkan Gunung Muria dengan Pulau Jawa.

Pelaut Ulung
Berkat jung, selama era Majapahit hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit dengan jung mampu berlayar hingga tempat-tempat terjauh.
Ma Huan, seorang tiongkok Muslim penerjemah Laksamana Cheng Ho yang mengunjungi Jawa pada 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa telah memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia tenggara.
Pada era Majapahit, penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470-1517), dalam bukunya Itinerario de Ludovico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa pelaut ulung yang sanggup berlayar ke negeri jauh di selatan. Ia menyebut mereka pernah tiba di sebuah pulau di mana satu hari hanya berlangsung selama empat jam dan lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun. hay/I-1

"Si Bongsor" Penyebab Kekalahan Serangan Pati Unus

Kapal jung Jawa dengan ukuran besar telah membuat para pelaut dari kerajaan Majapahit dan kerajaan di pesisir utara Jawa lain mampu berlayar jauh. Sayangnya kapal jung yang sangat besar tidak lagi diproduksi untuk mengarungi lautan.
Anthony Reid dalam buku Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (2000), berpendapat bahwa kegagalan jung dalam pertempuran melawan kapal Barat yang lebih kecil dan lincah kemungkinan membuat kapal ini ditinggalkan. Kapal jung terlalu berisiko ketika harus berhadapan dengan kapal Portugis.
Sejak pertengahan abad ke-16, kata Reid, kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara mulai menggunakan tipe-tipe kapal tempur gesit baru yang dapat dilengkapi dengan meriam berukuran lebih besar. Kapal-kapal tempur gesit ini dipergunakan dalam berbagai serangan melawan Portugis ketika bangsa Eropa itu hendak menguasai Malaka.
Salah satu contoh kekalahan serangan dengan kapal jung pernah dialami Pati Unus dari Kerajaan Demak. Serangannya ke Malaka atas perintah Raden Patah pada 1521 gagal dan ia pun gugur dalam pertempuran laut itu.
Menurut sejarawan Jerman, Horst H Liebner, Pati Unus membawa sekitar 30 jung Jawa besar seberat 350-600 ton. Sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. Jung-jung itu sendiri membawa 12.000 orang. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa.
Meskipun kalah, Pati Unus berlayar pulang dan mendamparkan kapal perangnya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Perlawanan ini membuat Pati Unus beberapa tahun kemudian menang dalam perebutan takhta Demak.
Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, kapten armada yang menghalau Pati Unus, mengatakan, jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini.
"Bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombardir, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan tembakan meriam besar Portugis yang saya miliki di kapal saya berhasil mengenai sasaran, tetapi tidak tembus," tulis de Andrade.
"Kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu cruzado tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi Raja Malaka," kata Albuquerque dalam tulisan laporan Fernão Pires de Andrade. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top