Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tantangan Perekonomian I Ekonomi Nasional Rapuh Tanpa Kelas Menengah yang Kuat

Jumlah Kelas Menengah di Indonesia Turun Tajam

Foto : ISTIMEWA

Tantangan Perekonomian Indonesia

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Jumlah kelas menengah di Indonesia turun tajam dalam beberapa waktu terakhir. Turunnya jumlah kelas menengah itu karena banyak yang jatuh kembali ke masyarakat berpenghasilan rendah akibat pendapatan mereka tidak tumbuh sebesar inflasi atau kenaikan harga terutama barang dan jasa yang mereka butuhkan.

Selain karena kenaikan harga, berbagai kebijakan pemerintah juga seperti kenaikan berbagai iuran tarif dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membuat kelas menengah semakin merana.

Akibatnya, mereka terpaksa makan tabungan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Salah satu penyebab tingginya pengeluaran kelas menengah adalah lonjakan harga pangan terutama beras. Harga beras terus merangkak naik sejak akhir 2022 lalu dan terus mencetak rekor tertinggi.

Dalam setahun terakhir, harga beras sudah melonjak 20 persen dan menembus rekor tertinggi pada Maret 2024. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) rata-rata harga beras bulanan pada Januari 2023 seharga 12.650 rupiah per kilogram (kg). Dalam lima bulan, tepatnya pada Juni 2024, harga beras sudah melonjak menjadi 15.350 rupiah per kg. Hal itu menyebabkan kelas menengah di Indonesia mengalami berbagai tantangan, apalagi mereka tidak mendapat fasilitas instrumen perlindungan sosial yang memadai.

Ekonom Senior dari Universitas Indonesia, Chatib Basri, baru-baru ini mengatakan sejak 2019 lalu, persentase kelas menengah malah turun menjadi 21 persen. Sebaliknya, kelompok menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) meningkat menjadi 48 persen.

Pada 2023, jelasnya, kelas menengah kembali turun menjadi 17 persen, sedangkan AMC naik menjadi 49 persen dan kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen. Hal itu berarti sejak 2019, sebagian dari kelas menengah "turun kelas" menjadi AMC, dan AMC turun menjadi kelompok rentan.

Menurut Menteri Keuangan, pada 2013 hingga 2014 itu, instrumen perlindungan sosial dan lapangan kerja kelas menengah ke depan memang perlu dipikirkan. Sebab, mereka tidak tergolong miskin, namun guncangan ekonomi dapat mengantar mereka pada kemiskinan.

"Hidup sebagai kelas menengah memang tak mudah. Ia membutuhkan keterampilan untuk menganggap 'diskon' sebagai bentuk kekayaan dan 'belanja hemat' sebagai prestasi," katanya.

Diminta pada kesempatan lain, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan pengeluaran kelas menengah memang sekarang lebih tersedot ke pengeluaran primer dengan beras sebagai faktor utamanya.

Kelas menengah mengurangi pembelian barang sekunder dan tersier. Penjualan mobil baru turun drastis, dan tabungan kelas menengah juga berkurang. "Artinya untuk memenuhi kebutuhan, mereka makan uang tabungan," kata Huda.

Fenomena hype konser pada tahun 2023 juga menyebabkan tabungan mereka sudah terkuras. "Saya merasa perlu perhatian khusus pada inflasi bahan pangan utamanya beras," kata Huda.

Pemerintah juga tidak perlu menaikkan harga barang yang diatur oleh pemerintah seperti bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Hal yang tidak kalah penting adalah peningkatan pendapatan yang proporsional terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Keberlanjutan Ekonomi

Sementara itu, ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan bahwa tertekannya kelas menengah karena harga pangan, semakin menunjukkan bahwa pengelolaan pertanian dan pangan adalah syarat fundamental bagi keberlanjutan ekonomi Indonesia.

"Hari ini, fakta menunjukkan bahwa main-main dengan kebijakan pertanian dan pangan membuat kita semua menderita. Tanpa kelas menengah yang kuat, juga membuat ekonomi kita rapuh," kata Maruf.

Daya beli kelas menengah yang turun akan menyebabkan daya beli secara keseluruhan terpengaruh. Penjualan mobil drop, seluruh variabel konsumsi yang menggerakkan seluruh lini produksi juga drop.

Dia sangat menyayangkan kebijakan pangan selama ini dikendalikan oleh para importir yang membuat Indonesia makin jauh dari kemandirian pangan.

"Dengan tekanan perubahan iklim dan juga perang, pangan jadi komoditas paling berharga yang harganya bisa terus merangkak naik," tandas Maruf.

Tak ada cara lain, tegas Maruf, selain menjadikan pertanian dan pangan sebagai soko guru perekonomian nasional agar tidak terjebak dalam ancaman kelaparan.

"Penduduk kita besar. Piramida masyarakat di mana tengah dan bawah begitu besar, perlu sustainability pangan," pungkasnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top