Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Bahan Industri I Rekomendasi Impor Tak Lepas dari Kepentingan Pemilu

Jumlah Impor Garam Berlebihan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jumlah impor garam 2018 yang mencapai 3,7 juta ton terlalu berlebihan. Sebab, kebutuhannya tidak sampai sebesar itu.

JAKARTA - Volume impor garam yang mencapai 3,7 juta ton pada 2018 terkesan dipaksakan. Pasalnya, jumlah impor garam tidak pernah sebanyak itu, paling tinggi hanya 2,5 juta ton.

"Dengan impor 3,7 juta ton ada kelebihan sekitar 1,2 juta ton. Jumlah itu jauh melebihi kebutuhan industri pengguna garam yang tidak sebesar itu," kata pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, dalam diskusi soal Migas dan Ekonomi, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ia menyebutkan peralihan kewenangan pemberian rekomendasi impor garam dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ke Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak terlepas dari angka impor garam yang mencapai 3,7 juta ton tersebut.

Faisal menjelaskan polemik impor garam tahun ini tidak berbeda jauh dengan kasus impor garam tahun lalu. Dalam sebuah rapat di istana Wapres, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, dipojokkan agar impor garam yang sedianya diberikan ke PT Garam dialihkan ke pihak swasta.

"Hal itu karena garamnya sudah masuk. Hal serupa juga sama dengan kasus ini. Bisa saja sebagian garam impor itu sudah masuk ke Indonesia, tetapi belum bisa ke luar karena belum adanya payung hukum, sehingga kewenangan rekomendasi impor diberikan ke Kemenperin," tegas Faisal.

Faisal menegaskan, banyak kejanggalan dalam keputusan impor garam tahun 2018. Selain jumlahnya yang tidak sesuai dengan permintaan KKP yang hanya 2,37 jjta ton, juga karena permintaannya agar impor dilakukan secara serentak. Padahal kebutuhannya tidak sampai seperti itu.

Dirinya mencontohkan kebutuhan dua importir garam terbesar, yakni PT Asahimas Chemicals dan industri makanan dan minuman (mamin). Untuk Asahimas kebutuhannya hanya sekitar 1,2 juta ton per tahun. Itu pun yang dipakai per bulannya hanya sekitar 100 ribu ton. Demikian juga dengan industri mamin yang hanya mencapai 500 ribu ton per tahun.

Artinya, kata Faisal, permintaan impor dilakukan secara serentak itu tidak masuk akal, apalagi produksi garam lokal sudah meningkat pesat, jauh dari 2-3 tahun lalu yang hanya sekitar 30 ribu ton per tahun.

"Jumlah sebanyak itu untuk apa, sementara kebutuhan industri pengguna garam hanya ratusan ribu ton per bulan. Tentu ini rawan merembes di pasar konsumsi. Itulah yang ditakutkan sama Menteri Susi, garam lokal tidak laku saat panen raya karena pasar sudah terembes," tegasnya.

Faisal menduga besarnya volume impor garam untuk industri tahun ini yang disertai dengan peralihan kewenangan pemberian rekomendasi impor garam tak terlepas dari kepentingan Pemilihan Umum (Pemilu). "Ini tentunya terkait erat dengan posisi Menteri Perindustrian yang juga menjabat sebagai ketua umum salah satu partai besar di Tanah Air," tandasnya.

Tidak Bertentangan

Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyampaikan peralihan kewenangan impor garam dari Kementerian Kelautan dan Perikan ke Kementerian Perindustrian tidak melanggar Undang-Undang. Hal itu mengingat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak disebutkan bahwa rekomendasi impor garam harus diberbitkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Kendati demikian, dalam UU Perindustrian juga Menteri Perindustrian juga diberikan kewenangan untuk menangani industri termasuk juga impor garam industri. "Artinya, PP yang diteken Presiden tetap mengacu pada dua aturan tersebut," tegas Darmin.

ers/E-3

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top