Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Sengketa Perdagangan

Jokowi Pertanyakan Putusan Ekspor Paksa Kekayaan Alam

Foto : ISTIMEWA

JOKO WIDODO Presiden RI - Dulu zaman VOC, zaman kompeni itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal adanya ekspor paksa setelah gugatan Uni Eropa ke Indonesia melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan pemerintah melarang ekspor bijih nikel sejak 2020.

"Dulu zaman VOC, zaman kompeni itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa," kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12).

Presiden menekankan bijih nikel yang dilarang ekspor itu adalah kekayaan alam Indonesia. Karena itu, dia mempertanyakan mengapa kewenangan pemerintah Indonesia terhadap kekayaan alamnya sendiri digugat.

"Ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor. Lho ini barang kita kok," kata Presiden.

Indonesia, papar Jokowi, memang sudah diputuskan kalah dalam gugatan tersebut di WTO pada Oktober 2022 lalu. Namun, itu baru proses penyelesaian sengketa tahap pertama. Presiden menegaskan akan banding atas putusan itu.

"Karena ini ceritanya belum rampung kalau kita berhenti. Ya, ekosistem besar yang kita impikan ini tak akan muncul," kata Presiden.

Larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan sejak 2020 ditujukan untuk mendorong proses hilirisasi nikel yang dapat menciptakan produk turunan untuk produksi baterai kendaraan listrik.

Pemerintah ingin membentuk ekosistem kendaraan listrik sehingga perlu produk turunan nikel sebagai bahan baku. Selain itu, hilirisasi barang tambang seperti nikel, akan menciptakan banyak lapangan kerja dan meningkatkan nilai ekspor.

"Ekosistem seperti cip, seperti komponen digital tadi. Ekosistem besar karena sekali lagi nikel itu kita nomor, reserve (cadangan nikel) kita nomor satu. Timah nomor dua, bauksit nomor enam, tembaga nomor tujuh dunia. Punya semuanya. Membangun ekosistem electric vehicle (kendaraan listrik) baterai itu kita hanya kurang litium," kata Presiden.

Kemandirian Bangsa

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, yang diminta pendapatnya mengatakan Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia seharusnya dapat memainkan posisi penting tersebut.

Menurutnya, menyikapi gugatan EU yang didukung WTO tersebut tidaklah semata-mata soal regulasi perdagangan internasional, tetapi benar soal kemandirian bangsa untuk mengelola sumber daya alamnya. Pemerintah harus konsisten dan mencari strategi yang tepat untuk mempertahankan soal kemandirian tersebut.

"Saya melihatnya ini tidak sekadar partarungan UE dan Indonesia, tapi proxy pertarungan tiga besar UE, Amerika, dan Tiongkok. Sepertinya Indonesia bisa lebih cepat mengembangkan industri baterai dengan Tiongkok dan tentu kan UE dan Amerika tidak akan suka," papar Aloysius.

Jadi, Indonesia semestinya bisa melakukan diplomasi di antara tiga kekuatan dunia tersebut sehingga bisa mendapat keuntungan terbaik dari posisi Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar.

"Pak Jokowi saya lihat berani untuk tiki taka dengan Uni Eropa dan WTO. Kita menunggu langkah cerdas Presiden untuk masa depan energi terbarukan di Indonesia," tandas Gunadi.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top