Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tata Kelola Pemerintahan -- Pengamat: Ide Hapus Jabatan Gubernur Kontraproduktif

Jokowi Nilai Jabatan Gubernur Tetap Perlu untuk Kontrol Pusat

Foto : istimewa

Presiden Joko Widodo

A   A   A   Pengaturan Font

BALI - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan penghapusan jabatan gubernur akan membuat rentang kontrol atau pengaturan dari pusat ke bupati/wali kota terlalu jauh.

Hal itu disampaikan Presiden menyikapi usulan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) agar jabatan gubernur ditiadakan lagi pemilihannya pada pilkada mendatang.

"Perlu kalkulasi, apakah lebih efisien atau nanti rentang kontrolnya terlalu jauh dari pusat langsung misalnya ke bupati wali kota terlalu jauh, span of control (jangkauan kontrolnya) harus dihitung," ujar Jokowi di sela kegiatannya mengunjungi Pasar Baturiti, Tabanan, Bali, Kamis (2/2).

Jokowi mengatakan siapa pun boleh menyampaikan usulan. Namun setiap usulan perlu disikapi dengan kajian mendalam sebelum ditindaklanjuti. "Semua memerlukan kajian yang mendalam. Kalau usulan itu, ini negara demokrasi boleh-boleh saja, namanya usulan. (Tapi) Perlu semuanya kajian, perlu perhitungan perlu kalkulasi," jelas Presiden.

Terpisah, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menyebut jabatan gubernur cukup krusial sehingga diperlukan dalam tatanan pemerintahan. "Ya krusial banget, kami selalu dapat arahan dari gubernur," kata Gibran di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis.

Dia mengatakan gubernur juga menjadi jembatan koordinasi antarwilayah, termasuk ketika ada permasalahan antarwilayah yang dapat diselesaikan oleh gubernur. "(Kalau) Koordinasi antarwilayah nggak jalan, (maka) dijembatani pak gubernur, diselesaikan pak gubernur. Sulit kalau nggak ada, gubernur harus ada," jelasnya.

Cukup Strategis

Sementara itu, pengamat politik dan pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang Dr. Bismar Arianto mengatakan ide atau gagasan untuk menghapus jabatan gubernur kontraproduktif dengan kondisi dan kebutuhan pemerintah Indonesia.

"Pemikiran untuk menghapus jabatan gubernur itu kurang logis dan tidak relevan dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa," ucap Bismar di Tanjungpinang, Kamis.

Alumnus Program Kedoktoran Ilmu Politik Universitas Indonesia itu mengatakan bahwa gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di daerah. Tugas gubernur berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten dan kota.

Dari aspek geografi, kata dia, keberadaan gubernur di Indonesia untuk menangani permasalahan rentang kendali antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat tidak mungkin dapat berkoordinasi dengan 514 kabupaten dan kota yang memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Bila dianalisis dari aspek sosiologis, lanjut dia, setiap kabupaten dan kota memiliki karakteristik yang berbeda. "Beda kultur, beda pola pendekatan. Namun, gubernur lebih mudah berbaur karena berada dalam wilayah yang sama,"ucapnya.

Persoalan lainnya terkait dengan pembangunan lintas kabupaten dan kota, dia berpendapat bahwa peran gubernur cukup strategis mendorong percepatan pembangunan lintas kabupaten dan kota. "Saya kurang percaya, pusat langsung dapat menangani itu," katanya.

Mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang itu menuturkan bahwa meniadakan jabatan gubernur merupakan proses panjang karena juga harus merevisi konstitusi. Amendemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan ide penghapusan jabatan gubernur perlu kajian mendalam. "Saya berharap justru sekarang harus memperkuat struktur dan tata kelola pemerintahan yang sudah ada," ucapnya.

Secara historis, kata Bismar, Jepang ketika menjajah Indonesia pernah meniadakan jabatan gubernur. Kebijakan Jepang itu berbeda dengan Belanda ketika menjajah Indonesia. "Waktu Belanja menjajah Indonesia, ada jabatan gubernur, kemudian Jepang meniadakannya. Setelah Indonesia merdeka, jabatan itu kembali ada. Waktu itu diberi nama kepala daerah tingkat I," katanya.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top