Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 04 Mar 2025, 01:15 WIB

Jika Andalkan Bansos dan Stimulus, Ekonomi Sulit Tumbuh 8%

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata - Kebijakan seperti bansos dan stimulus diskon hari besar keagamaan memang bisa membantu menghadapi siklus-siklus ekonomi.

Foto: antara

JAKARTA - Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan 8 persen pada 2029 akan sulit dicapai jika kebijakan ekonomi yang diandalkan hanya berupa bantuan sosial (bansos) dan stimulus konsumsi terkait hari-hari besar keagamaan. 

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, pada Senin (3/3) mengatakan kebijakan semacam itu hanya memberikan dampak jangka pendek dan tidak cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

“Kebijakan seperti bansos dan stimulus diskon hari besar keagamaan memang bisa membantu menghadapi siklus-siklus ekonomi. Namun, efeknya sangat temporer. Setelah siklus belanja ini terjadi, pertumbuhan yang dihasilkan segera meredup,” kata Aloysius dari Yogyakarta.

Dalam kondisi daya beli masyarakat yang tengah anjlok, bansos dan subsidi lebih berperan sebagai komplemen yang cepat menguap. Oleh karena itu, menurutnya, tidaklah rasional jika stimulus yang bersifat temporer dan konsumtif dijadikan andalan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga dua kali lipat dari capaian saat ini.

“Yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan yang ambisius tersebut adalah kebijakan yang produktif, bukan yang selalu berangkat dari sisi pengeluaran. Jika pemerintah ingin menggunakan stimulus, seharusnya diarahkan ke sektor-sektor yang produktif dengan perspektif jangka panjang dan komprehensif,” tegasnya.

Lebih lanjut, Aloysius menilai bahwa target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen tampaknya tidak disertai kalkulasi yang matang. Ia juga menyoroti bahwa masih banyak faktor penghambat pertumbuhan yang dibiarkan tanpa solusi konkret.

“Yang justru makin tampak adalah bahwa target pertumbuhan ini tidak disertai perhitungan yang realistis. Bahkan, masih ada kesan bahwa berbagai penghalang pertumbuhan, seperti korupsi yang makin transparan, tetap dibiarkan terjadi,” tandasnya.

Dengan kondisi seperti itu, Aloysius mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan harus lebih berpihak pada produktivitas dan pembangunan jangka panjang, bukan sekadar upaya instan untuk merangsang konsumsi.

Tanpa perubahan fundamental dalam kebijakan ekonomi, target ambisius 8 persen pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi wacana tanpa realisasi yang nyata.

Rekan Aloysius, Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya Jakarta, YB. Suhartoko mengatakan, kontributor pendapatan nasional terbesar saat ini adalah konsumsi, sekitar 55 persen. Sedangkan terhadap pertumbuhan ekonomi konsumsi menyumbang sekitar 4,94 persen pada 2024. Kontribusi itu tidak mengalami perubahan berarti dalam 10 tahun terakhir ini.

“Ini artinya untuk mendorong pertumbuhan di menjadi 8 persen perlu upaya terobosan pendorong pertumbuhan,” papar Suhartoko.

Dari sisi APBN lanjutnya, nampaknya peran kebijakan fiskal ekspansif masih sulit diharapkan, mengingat sulitnya meningkatkan penerimaan pajak dan potensi penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam dua tahun ke depan.

Sumber pertumbuhan lain adalah investasi. Namun demikian, investasi Indonesia kurang efisien. Dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio), sekitar 6,33 maka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen secara sederhana dibutuhkan pertumbuhan investasi sekitar 48 persen. Oleh karena itu, tantangan jangka pendeknya adalah menurunkan ICOR.

Peningkatan ekspor juga katanya suatu terobosan, terutama dari sisi kuantitas dan keberlanjutan ekspor. Namun, diversifikasi barang ekspor dan tujuan ekspor perlu segera dilakukan.

Masalah Struktural

Sementara itu, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet mengatakan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 sangat ambisius, mengingat tren pertumbuhan Indonesia dalam dekade terakhir berkisar di angka 5 persen.

Tantangan eksternal seperti perlambatan perdagangan global, dan ketegangan geopolitik semakin memperumit upaya akselerasi ekonomi. Di sisi lain, tantangan domestik seperti pemulihan konsumsi yang lambat dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) menunjukkan adanya masalah struktural dalam industri dan ketenagakerjaan, yang tidak cukup diatasi hanya dengan bansos dan stimulus musiman seperti yang direncanakan pemerintah.

“Meskipun target 5,2 persen pada 2025 menjadi langkah awal, pencapaian pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan membutuhkan reformasi mendalam di sektor investasi, industri, dan produktivitas tenaga kerja, bukan sekadar dorongan konsumsi jangka pendek,” kata Rendi

Secara terpisah, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda mengaku masih menyakini bahwa pertumbuhan ekonomi 8 persen masih sulit dicapai. Untuk mencapai 5,2 persen tahun ini pun, perlu effort lebih dari Pemerintah mengingat kondisi perekonomian domestik maupun global masih cukup rentan.

“Konsumsi rumah tangga, yang jadi andalan, akan cukup tertekan akibat adanya kasus PHK akhir-akhir ini Dampaknya bisa di semester kedua tahun ini,” kata Huda.

Faktor eksternal, sangat terdampak kebijakan Presiden AS, Donald Trump yang akan menurunkan permintaan produk global termasuk dari Indonesia.

Untuk mendorong pertumbuhan hingga di atas 6 persen, Huda menyarankan agar pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat melalui kebijakan yang bersifat fiskal ekspansif.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.