Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Konservasi Ekosistem - Kelompok Perlindungan Hewan Kecam Kebijakan Jepang

Jepang Izinkan Berburu Paus

Foto : AFP/ JUNG YEON-JE

TOLAK PERBURUAN PAUS - Aktivis Perlindungan Hewan dari Korea Selatan berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul, akhir Desember 2015. Mereka menentang kegiatan nelayan-nelayan Jepang berburu ikan paus. Pemerintah Jepang memutuskan kembali memberikan izin perburuan paus pada 2019.

A   A   A   Pengaturan Font

TOKYO - Pemerintah Jepang memutuskan keluar dari Komisi Internasional Ikan Paus atau International Whaling Commission (IWC) pada 2019. Sikap itu diambil supaya Jepang bisa meneruskan kebijakannya memburu mamalia terbesar itu dan menjual daging secara komersial.

"Berdasarkan sejarah, selain menjadikan dagingnya sebagai sumber protein, Jepang telah memanfaatkan paus untuk tujuan lain," kata Yoshihide Suga, juru bicara pemerintah Jepang, Rabu (26/12).

Langkah Jepang tersebut dipastikan akan menuai kecaman internasional, terutama dari kelompok perlindungan hewan dan negara-negara anti perburuan paus, seperti Australia dan Selandia Baru.

Pemerintah Jepang menyebut akan kembali berburu paus di perairan dan wilayah zona ekonomi ekslusifnya mulai Juli mendatang. Mereka mengklaim populasi paus belum terancam sehingga aman untuk diburu. Jepang, kata Suga, akan secara resmi menyampaikan keputusan itu kepada IWC pada akhir tahun. Artinya, pengunduran diri akan berlaku sejak 30 Juni 2019.

"Perburuan paus telah melekat dan mendukung komunitas lokal dan membantu mengembangkan kehidupan dan budaya,"tambah Suga.

Menurut Asosiasi Penangkapan Ikan Paus Jepang, nelayan di negara Matahari Terbit itu diyakini telah berburu ikan paus sejak abad ke-12 silam dengan hanya bermodal tombak.

Sekitar awal 1600-an, perburuan paus di Jepang bahkan sudah terpusat di bagian barat Kota Taiji, yang sekarang dikenal sebagai pelabuhan untuk berburu lumba-lumba. Pada 1906, Jepang juga membangun pangkalan perburuan paus modern di Ayukawa, Miyagi. Pangkalan tersebut sempat hancur akibat tsunami yang menerjang Jepang pada 2011 lalu.

Jepang mulai bergabung dengan IWC pada 1951 silam. Saat itu, Jepang merupakan negara pemburu Paus terbesar. Mereka bahkan mulai melakukan perburuan paus di luar wilayahnya hingga ke Samudra Antartika.

IWC juga telah melarang perburuan paus untuk kebutuhan komersial pada 1986 silam. Namun, Jepang lolos dari aturan tersebut dan tetap melakukan perburuan paus dengan alasan untuk kebutuhan penelitian.

Empat tahun lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Jepang menyetop perburuan paus secara menyeluruh, menyusul protes dan kecaman yang datang dari berbagai organisasi pemerhati lingkungan dan satwa.

Abaikan Lingkungan

Keputusan Jepang menarik diri dari ICW kemarin memicu kemarahan dari kelompok konservasi satwa.

"Deklarasi tersebut tidak sesuai dengan komunitas internasional, karena mengabaikan langkah yang diperlukan untuk melindungi masa depan lingkungan terutama kehidupan makhluk-makhluk agung ini," ucap Direktur Eksekutif Greenpeace Jepang, Sam Annesley.

"Pemerintah Jepang harus segera melakukan konservasi ekosistem lautan ketimbang terus berburu paus untuk kebutuhan komersil," tambah Annesley.

Pengumuman itu sudah diperkirakan banyak pihak dan keluar setelah Jepang gagal awal tahun ini untuk meyakinkan IWC agar mengizinkan negara itu memulai kembali perburuan paus secara komersial. Tokyo telah berkali-kali mengancam untuk keluar dari IWC. Negara itu juga sering dikritik karena menangkap ratusan paus setiap tahunnya untuk "riset ilmiah", meski sudah menandatangani moratorium untuk perburuan hewan mamalia itu.

Dengan keluar dari IWC, para pemburu paus Jepang bisa kembali memburu paus minke dan paus-paus lainnya di perairan Jepang yang saat ini dilindungi oleh IWC. Tapi Jepang tidak bisa lagi berburu paus untuk keperluan riset ilmiah di kawasan Arktika yang diizinkan khusus untuk anggota IWC berdasarkan Traktat Arktika. AFP/P-4


Redaktur : Khairil Huda
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top