Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Wisata Nusa Tenggara Barat

Jelajahi Suasana Desa dengan Bersepeda

Foto : Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
A   A   A   Pengaturan Font

Pertambangan galian C membuat lingkungan Desa Bilebante mengalami kerusakan. Berkat kesadaran warganya dan layanan wisata yang dikembangkan, desa ini menjadi salah satu tujuan untuk menjelajahi kekayaan wisata alam, budaya, dan kuliner dengan bersepeda.

Di Desa Bilebante, wisatawan dapat menikmati liburan yang menyenangkan ala kampung dengan suasana asli pedesaan. Tempat rekreasi ini diklaim cocok untuk keluarga, teman, pasangan, ataupun sahabat.

"Datang sebagai tamu, pulang sebagai keluarga," demikian mottonya.

"Nikmati berbagai fasilitas yang kami siapkan untuk rekreasi kami seperti kulineran masa kecil khas Lombok, menyusuri sawah dan hutan menggunakan sepeda dan ATV, belajar memanah hingga menikmati pijatan khas Bilebante, semuanya kami kemas menarik dengan harga hemat," tulis laman bilebante.com.

Sebelum menjadi desa wisata yang banyak dikunjungi, masyarakat Desa Bilebante, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menyandarkan hidup dari tambang galian C seperti batu, batu kerikil, dan pasir. Namun tambang ini menciptakan ketegangan karena keberadaannya dianggap mengancam lingkungan persawahan dan perkebunan.

Lalu lalang truk yang membawa material tambang ini membuat jalan di sini mengalami kerusakan. Truk yang lewat menerbangkan debu yang ada di permukaan jalan. Atas kondisi tersebut Bilebante pernah dikenal sebagai "desa debu".

Di Bilebante penambangan galian C telah berlangsung sejak 1990-an. Puluhan hektare lahan baik sawah maupun kebun di desa itu berubah menjadi tambang pasir yang sulit dikembalikan seperti semula.

Khawatir semakin banyak sawah dan perkebunan yang dijadikan tambang pasir, pemerintah Desa Bilebante mengeluarkan awig-awig atau peraturan desa (perdes) pada 2007. Aturan ini membuat penambangan pasir berkurang dan benar-benar berhenti pada 2016 ketika hadir Desa Wisata Hijau Bilebante.

Sebenarnya Bilebante yang berjarak 15,7 kilometer dari Kota Mataram tidak memiliki keindahan alam yang bisa memikat pengunjung. Tidak ada gunung, air terjun, hutan, sungai, apalagi lautan dengan pasir putih. Desa ini hanya memiliki sawah dan kebun yang luas dengan jalan-jalan yang membelahnya.

Direktur Desa Wisata Hijau Bilebante, Pahrul Azim, dalam sebuah lokakarya tentang desa wisata pada 2015, berkenalan dengan sejumlah pihak yang menunjukkan betapa Bilebante punya potensi besar sebagai desa wisata. Salah satunya Bilebante memiliki lubang bekas tambang.

Selanjutnya pada tahun 2015, warga membentuk Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Hijau (DWH) Bilebante. Pada tahun 2016, DWH Bilebante diluncurkan secara resmi dengan dukungan dari Kepala Desa Bilebante, Rakyatul Liwaudin.

Ia kemudian memberanikan diri mendaftarkan Bilebante sebagai salah satu desa binaan wisata. Gayung bersambut, Bilebante lolos sebagai satu dari tiga desa binaan Deutsche Gesellschaft für Internationale (GIZ). Dari sini mendorong warga untuk belajar menganalisis potensi yang ada di desanya.

Dari situ ditemukan beberapa potensi wisata di desa itu antara lain pura tertua di Lombok Tengah. Di desa ini memang selain suku Sasak juga dihuni oleh suku Bali. Potensi lainnya adalah Sumur Jodoh, Gong Gress, Lembah Gardenia yang semuanya dahulunya bekas galian tambang pasir. Potensi lainnya adalah berbagai kerajinan.

Untuk mengeksplorasi potensi keindahan yang dimiliki, ia memulai dengan menawarkan paket wisata pertama yakni bersepeda keliling desa. Sepeda diperoleh dengan cara meminjam ke beberapa warga yang memiliki.

Sejak itu pariwisata mulai bergerak dan usaha pelan-pelan berhenti apalagi dengan adanya peraturan desa yang melarang penambangan di sawah setelah perdebatan dengan para pengusaha. Ekonomi warga juga turut menggeliat seiring dengan terus bergeraknya sektor wisata di sana.

Bukan hanya mereka yang terlibat langsung dengan wisatawan saja yang mendapatkan tetesan keuntungan. Warga yang membuka warung yang menyediakan produk yang dibutuhkan wisatawan turut menikmatinya.

Tidak adanya truk tambang yang mengangkut galian C lewat karena dipaksa berhenti oleh peraturan desa membuat jalan bebas debu. Mereka yang dulunya pesimis, kini mulai berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata.

Kearifan Lokal

Bukan hanya menawarkan hamparan sawah dan bekas tambang, potensi wisata lain yaitu budaya, kuliner, atraksi wisata, dan hingga kearifan lokal warganya disajikan. Pelancong bukan semata diajak bersepeda keliling desa dan menikmati kuliner, namun mereka pun diajak mengikuti kelas memasak, kelas terapi kebugaran, hingga berkebun tanaman herbal.

Kemampuan menyulap desa tambang menjadi Desa Wisata Hijau membuatnya dianugerahi mendapatkan penghargaan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagai Desa Wisata terbaik dalam ajang Desa Wisata Award 2017. Terpilihnya Desa Bilebante karena dinilai telah mampu menjalankan roda perekonomian melalui status sebagai Desa Wisata.

Bagi pengunjung yang ingin menginap, Desa Wisata Hijau Bilebante sudah tersedia fasilitas homestay. Selain itu, terdapat fasilitas lainnya seperti bumi perkemahan, kolam renang, Pasar Pancingan, jalur sepeda, serta sentra pelatihan UMKM pengolahan rumput laut.

"Homestay yang kami siapkan adalah rumah warga yang kami sulap menjadi penginapan yang nyaman. Udara yang sejuk dengan keramah tamahan warga desa siap makin membuat liburan berkesan," tulis laman bilebante.com.

Homestay milik warga Bilebante dipatok pada harga 300.000 rupiah per malam. Dengan tarif yang relatif terjangkau tersebut sudah mendapatkan fasilitas AC, LED TV, lemari, spring bed, menu sarapan, nasi goreng, roti bakar, teh, kopi, dan minuman sereh.

Ada pula destinasi lainnya yaitu Pasar Pancingan. Ketika berada di Pasar Pancingan, wisatawan diajak menikmati kuliner tradisional Lombok yaitu surabi rumput laut. Mereka juga diajak menikmati makanan seperti yang biasa disantap masyarakat suku Sasak, suku asli di pulau ini yang diolah secara tradisional.

Berangkat dari pengolahan bahan alam lokal secara tradisional oleh masyarakat setempat, produk UMKM Desa Bilebante mulai dikenal dan dilirik oleh para wisatawan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya kunjungan wisatawan bukan untuk sekedar berkunjung namun bahkan belajar dari masyarakat setempat.

Saat ini wisatawan juga bisa menyewa kendaraan all terrain vehicle (ATV) dengan kapasitas dua orang. Fasilitas ini tentu saja memberi kemudahan bagi mereka yang ingin mengeksplorasi Desa Bilebante tanpa perlu mengayuh sepeda. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top