Rabu, 25 Des 2024, 12:05 WIB

Jangan Dibiarkan, Konstipasi Dapat Pengaruhi Tumbuh Kembang Anak

Konstipasi dapat menyebabkan gejala fisik seperti kelesuan serta nafsu makan yang buruk yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang si kecil.

Foto: Istimewa

JAKARTA – Konstipasi atau sembelit merupakan gangguan pencernaan yang sering terjadi pada anak. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 29,6 persen anak di seluruh dunia pernah mengalaminya.  

Sembelit juga dialami anak-anak di Indonesia. Laporan Kementrian Kesehatan (2023) terkait konstipasi pada anak, menyebutkan 1 dari 3 anak balita (toddler) mengalami konstipasi. Dari seluruh kasus anak yang dirujuk dengan konstipasi ini, 95 persen kasus merupakan konstipasi fungsional menurut laporan  Endyarni B, Syarif BH (2004).

Masalah konstipasi yang dialami oleh si kecil disebabkan oleh banyak factor. Beberapa diantaranya adalah seperti pergerakan ususnya yang lambat, perubahan pola makan, menunda buang air besar karena sedang bermain, sengaja menahan buang air besar (holding-on behavior) karena punya pengalaman buruk pada saat proses toilet training dan perubahan lingkungan toilet atau takut menggunakan toilet umum.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Constipation Awareness Month, Bebelac berupaya terus mengajak para ibu untuk mencegah konstipasi dan menjaga kesehatan saluran cernanya dengan asupan nutrisi yang tepat dan memonitor saluran cerna pencernaan si kecil, untuk mendorong tumbuh kembang yang optimal.

Dokter Anak Konsultan Gastrohepatologi dr. Ezy Barnita Sp.A(K), mengatakan, kurangnya asupan serat prebiotik akan membuat feses yang dihasilkan oleh saluran pencernaan menjadi lebih keras dan sulit dikeluarkan oleh tubuh. Sayangnya, 9 dari 10 anak tidak mampu memenuhi asupan serat prebiotik hariannya.

“Orang tua sering mengasumsikan kalau konstipasi akan menghilang dengan sendirinya. Namun menurut studi, prevalensi konstipasi tidak berkurang secara signifikan seiring beranjak dewasa,” katanya melalui siaran pers pada hari Jumat (20/12).

Banyak anak-anak yang masih mengalami konstipasi hingga remaja dan dewasa. Marjolijn E W Timmerman dan kawan-kawan (2021) menyebutkan, sekitar 43 persen anak mengalaminya selama lebih dari 5 tahun.  Sementara itu, 26 persen dewasa muda mengalami konstipasi sejak masa kanak-kanak.

“Oleh karena itu penting mencukupi asupan harian serat prebiotik si kecil agar kesehatan pencernaannya terjaga dan mencegahnya dari masalah gangguan pencernaan,” tegas Ezy.

Ia menjelaskan, konstipasi pada anak-anak tidak dapat dianggap sepele. Saat awal keluhan konstipasi menimbulkan gejala seperti sakit perut, anak menolak makan, tidur terganggu karena anak lapar, selain menjadi lebih rewel.

Apabila dibiarkan, kondisi ini dapat memicu perubahan perilaku seperti mudah tersinggung, agresif, kasar, bahkan tantrum akibat anak tidak lancar buang air besar. Masalah ini juga dapat menyebabkan gejala fisik seperti kelesuan serta nafsu makan yang buruk pada anak.

Jika terus berlanjut, masalah konstipasi pada anak dapat menghambat dan mempengaruhi tumbuh kembang si kecil. Oleh karena itu, konstipasi perlu dicegah dengan asupan serat prebiotik yang cukup dan monitor pup si kecil setiap hari.

Monitoring pup si kecil secara rutin akan membuat orang tua menyadari saat ada gejala mendekati konstipasi, misalnya tekstur pupnya mulai keras meskipun masih BAB rutin, atau BAB mulai jarang meskipun tekstur pupnya masih lunak.

Perkembangan saluran cerna yang sehat sejak dini sangat penting bagi kesehatan holistic (tumbuh kembang optimal). Asupan nutrisi yang adekuat merupakan faktor kunci dalam membentuk dan mempertahankan ekosistem mikroba usus yang seimbang, khususnya kebutuhan serat prebiotik.

Prebiotik berperan dalam mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikrobiota usus (bakteri baik), yang kemudian dapat berdampak positif pada perbaikan konsistensi feses, jumlah waktu buang air besar, dan kembung.

Untuk mendukung pencernaan selalu sehat dan terbebas dari gangguan pencernaan seperti sembelit atau konstipasi, salah satunya bisa dilakukan dengan pemberian pola makan bergizi seimbang dengan serat prebiotik yang cukup. Selain dari makanan alami seperti buah-buahan, sayur-mayur, kacang-kacangan, serta beberapa jenis sayuran akar seperti umbi-umbian dan wortel, prebiotik juga bisa diperoleh dari susu pertumbuhan yang terfortifikasi khusus dengan rasio prebiotik yang tepat.

“Salah satu serat prebiotik yang sudah teruji klinis untuk mendukung kesehatan pencernaan adalah FOS:GOS 1:9,” tambah Ezy.

Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK., Medical & Scientific Affairs Director Danone Indonesia mengatakan, manfaat kesehatan dari FOS:GOS 1:9 termasuk untuk kesehatan saluran cerna telah diteliti dengan lebih dari 40 studi ilmiah. Penelitian ini telah menghasilkan lebih dari 90 publikasi internasional di lebih dari 10 Negara Asia dan Eropa.

“Serat prebiotik dengan kombinasi FOS:GOS 1:9 ini telah teruji klinis mampu menjaga kesehatan pencernaan si kecil sehingga konsistensi feses anak tetap lunak, mendukung kebiasaan buang air besar menjadi lebih teratur, sehingga si kecil bebas dari masalah pencernaan seperti konstipasi untuk mendukung tumbuh kembang serta kreativitasnya,” paparnya.

Orangtua juga perlu memahami konsistensi BAB anak yang ideal, tidak keras atau kering, serta tidak terlalu lembek atau encer. Penggunaan alat bantu berupa gambar peraga dapat membantu dokter lebih memahami kondisi BAB anak yang sebenarnya.

Namun kadang luasnya variasi bentuk, konsistensi dan warna BAB tidak selalu dapat diandalkan. Cara lain adalah apabila orangtua mendokumentasikan setiap kali anak BAB, sehingga dapat diperlihatkan pada dokter saat kontrol.

Kecerdasan Buatan

Selain itu, memahami pentingnya monitoring pup secara rutin, Nutricia Research mengembangkan model kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang dapat membantu orang tua untuk melakukan monitoring pup dengan lebih mudah.

Tim Nutricia di Eropa dan Asia sudah mengembangkan model AI yang dapat mengecek pup si kecil dengan akurasi lebih dari 95 persen. Hasil riset ini sudah dipresentasikan dalam forum ilmiah kesehatan pencernaan internasional, seperti The European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (ESPGHAN), dan sudah dipublikasikan di jurnal ternama The Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition (JPGN) dan Acta Paediatrica.

“Hasil riset ilmiah tersebut telah menjadi landasan pengembangan tools di Indonesia dan divalidasi oleh dokter anak konsultan gastroenterologi di Indonesia,” tambah dr. Ray.

Redaktur:

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan: