Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kemajemukan Bangsa - Potensi Disintegrasi Bangsa Indonesia Harus Dicegah

Isi Kemerdekaan dengan Perjuangkan Keberagaman

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Masih adanya sikap intoleransi yang dilakukan sebagian masyarakat, menuntut warga bangsa untuk mengisi kemerdekaan dengan memperjuangkan nilai-nilai keberagaman.

SEMARANG - Nilai-nilai kebangsaan, keberagaman, nasionalisme, dan Pancasila harus terus diperjuangkan. Ini diperlukan karena di Jawa Tengah, khususnya di Semarang walaupun tingkat intoleransi rendah bukan berarti membuat tenang. Berdarakan data pada 2016 hingga Juli 2017 terdapat 10 peristiwa intoleransi di Semarang.

"Kami terus mengkampanyekan perdamaian, antidiskriminasi, dan nilai-nilai nasionalisme. Kami memperjuangkan nilai-nlai kebangsaan, tidak mempertentangkan ajaran Islam," kata tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Tedi Kholiludin kepada Koran Jakarta, di Semarang, Senin (14/8).

Untuk mencegah peristiwa intoleransi, Tedi terus gencar membuat langkah nyata guna mencegahnya. Itu diwujudkan dengan mengadakan kemah pemuda lintas iman, foucus group discussion (FGD), melakukan advokasi, dan kegiatan lain yang mendukung nilai-nilai keberagaman.

Mengisi kemerdekaan dengan memperjuangkan nilai-nilai tersebut, Tedi sebagai pemeluk agama Islam, tentu dalam zona yang nyaman. Salat ke masjid dan beribadah sangat bebas tanpa adanya gangguan, dan di Jawa karena berada dalam mayoritas. Namun dia tidak bisa melihat, ketika sesama anak bangsa melihat ada tempat ibadah pemeluk lain susah untuk berdiri. Untuk itu perlu dialog.

Peraih gelar doktor sosiologi agama dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKSW) ini mengatakan Proklamasi tentu memberi semangat bagi bangsa Indonesia. Keberadaan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) harus terus didukung.

Potensi Disintegrasi

Menurut Tedi, percakapan tentang dasar negara Pancasila kembali mengemuka, tak hanya berbarengan dengan peringatan Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni, tetapi juga karena potensi disintegrasi yang begitu menyeruak, yang ini harus dicegah. Disintegrasi ini dilatari oleh kebangkitan politik identitas, maupun distribusi yang dianggap tidak adil.

Pembentukan unit ini, menurut Tedi, mengingatkan adanya Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang mendesain program penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di era Soeharto. "Hanya saja, secara formal, ada perbedaan posisi di antara keduanya. Jika BP7 adalah lembaga tinggi negara, UKP PIP merupakan lembaga nonstruktural yang berada dan bertanggung jawab kepada presiden," kata dia.

Di era Suharto, pemasaran Pancasila banyak mengandalkan institusi negara. Polanya bersifat top down. Strategi ini tentu tidak selalu salah, karena saluran ideologisasi diperlukan juga melalui instrumen negara. Hanya saja, mengandalkan negara sebagai satu-satunya agen, tentu potensial menjadikan Pancasila hanya sebagai di bibir saja.

Perlu cara lain untuk menggenapi pola top down, yakni bottom up. Menurut Tedi, meski UKP PIP adalah lembaga yang diinisiasi negara, tetapi kehadiran para pemimpin kelompok masyarakat yang duduk di dewan pengarah, memungkinkannya bisa memadukan dua jalur tersebut.

"Pancasila pada gilirannya disemai dengan menggunakan bibit kearifan lokal. Seperti yang diakui oleh Soekarno, ia bukanlah penemu Pancasila, karena Pancasila digali dari bumi nusantara. Artinya, ruh, nilai, dan falsafah Pancasila sebenarnya mengakar dalam tradisi serta kebudayaan bangsa Indonesia, " ungkap Sekretaris PW Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (Lakpesda NU) Jawa Tengah ini.

Dalam beberapa kasus, penerimaan Pancasila sebagai sebuah kontrak bersama oleh kelompok masyarakat memang memerlukan justifikasi-justifikasi yang datang dari tradisi mereka. Tedi mencontohkan, penerimaan NU terhadap Pancasila pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Sukorejo, Situbondo 21 Desember 1983. Di tengah kuatnya peran negara dalam sosialisasi Pancasila, NU mengambil cara lain, yaitu menanamkan nilai-nilai Pancasila dari bawah. SM/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top