Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hasil Survei BI I Ketersediaan Lapangan Kerja 6 Bulan Mendatang Diperkirakan Turun

Investasi Padat Karya Semakin Terbatas

Foto : Sumber: Bank Indonesia - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Peran pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri perlu diperkuat untuk memastikan kesesuaian tenaga kerja dengan evolusi pasar.

» Kompetisi dan behaviour konsumen yang dinamis harus direspons dengan cepat oleh perusahaan teknologi digital dengan inovasi.

JAKARTA - Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Desember 2023 menunjukkan indeks ketersediaan lapangan kerja mengalami sedikit penurunan 0,4 poin menjadi 112,7 pada Desember 2023.

Berdasarkan latar belakang pendidikan, penurunan optimisme terjadi secara drastis pada kelompok konsumen lulusan pascasarjana, yakni turun 30,6 poin dari bulan sebelumnya menjadi 107,3 pada Desember 2023, sedangkan pada kelompok lulusan sarjana mengalami penurunan 11,1 poin menjadi 120,9.

Sementara itu, pada kelompok lulusan SMA justru mengalami peningkatan 3 poin yakni menjadi 108,5, dan pada lulusan akademi meningkat 0,5 poin menjadi 113,9. Di sisi lain, konsumen juga memperkirakan ketersediaan lapangan kerja pada enam bulan mendatang mengalami penurunan.

Berdasarkan tingkat pendidikan, penurunan terutama terjadi pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan pascasarjana yakni menurun 24,1 poin menjadi 120,3. Kemudian, pada tingkat sarjana menurun 11,1 menjadi 133,7, pada tingkat akademi tetap stabil di 132,5, dan tingkat SMA justru meningkat 0,3 poin menjadi 127,4.

Dari sisi usia, ekspektasi terhadap ketersediaan lapangan kerja terindikasi menurun pada seluruh kelompok usia. Pada usia 20-30 tahun menurun 3,8 poin menjadi 120,3, lalu usia 31-40 tahun turun 0,3 poin, usia 41-50 tahun turun 0,1 poin menjadi 129,1, usia 51-60 turun 1,9 poin menjadi 128,1, dan terakhir pada usia lebih dari 60 tahun turun 4,2 poin menjadi 120,7.

Pengamat ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, yang diminta pendapatnya, mengatakan dari data terbaru penurunan indeks ketersediaan lapangan kerja itu semakin menunjukkan dampak serius dari disrupsi teknologi digital.

"Perubahan sudah tak terelakkan, kita semua harus menerima ini sebagai fakta. Jangan ditolak lagi, tapi harus dihadapi," kata Aditya dari Yogyakarta, Selasa (9/1).

Menurut Aditya, penurunan indeks ketersediaan lapangan kerja akibat mekanisasi dan digitalisasi menjadi tantangan serius bagi bangsa. Perbedaan dampak antara lulusan pascasarjana dan SMA pun perlu dicermati lebih lanjut.

Untuk mengatasi hal itu diperlukan langkah-langkah adaptasi skill kerja dan peningkatan pelatihan sesuai dengan tren teknologi. "Peran pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri perlu diperkuat untuk memastikan kesesuaian tenaga kerja dengan evolusi pasar. Pendidikan vokasi tampaknya akan makin penting," kata Aditya.

Investasi Terbatas

Dihubungi pada kesempatan terpisah, peneliti dari Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan menurunnya serapan tenaga kerja memang tidak terlepas dari digitalisasi dan automasi.

"Di sisi lain, investasi padat karya atau labour intensive yang makin terbatas. Masalah dukungan kualitas sumber daya manusia (SDM) juga menjadi faktor kunci melemahnya serapan tenaga kerja," ungkap Awan.

Dia mengatakan di tengah arus digitalisasi dan automasi yang memang masih kencang-kencangnya saat ini, malah kualitas SDM belum siap. Di sisi lain, pemerintah juga belum optimal meningkatkan kualitas SDM untuk menyokong perkembangan digitalisasi.

Sebab itu, tugas utama pemerintah saat ini selain menarik investasi labour intensive sebanyak mungkin, juga meningkatkan kualitas SDM. Hal yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan investasi ekonomi rakyat, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang lebih banyak menyerap tenaga kerja.

Awan juga menyoroti dalam beberapa kasus justru pemutusan hubungan kerja (PHK) malah dilakukan perusahaan-perusahaan yang berbasis teknologi digital. Kondisi seperti itu tentu akan menjadi ancaman yang harus diantisipasi.

"Bisa jadi efisiensi tersebut karena hyper-kompetisi, teknologinya terdisrupsi, dan perubahan preferensi konsumen yang lebih cepat," ungkap Awan.

Kompetisi dan behaviour konsumen yang dinamis itu harus direspons dengan cepat oleh perusahaan teknologi digital dengan melakukan inovasi agar tidak ditinggal konsumen. "Mereka harus paham kalau kompetitor itu semakin banyak dan perubahan begitu cepat," pungkas Awan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top