Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sektor Pertanian - Penurunan Kesejahteraan Petani Berimbas pada Penyempitan Luas Lahan

Insentif untuk Petani Minim

Foto : ANTARA/Raisan Al Farisi

Sejumlah petani memupuk lahan pertanian di Desa Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (2/8). Ketua Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Agus Pakpahan menilai tren kondisi pertanian di Indonesia cenderung terus menurun jika dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, maupun Korea terutama dilihat dari luas lahan yang dimiliki petani, misalnya di Amerika Serikat satu orang petani memiliki lahan rata-rata seluas 200 hektare sedangkan di Indonesia 200 hektare dimiliki oleh ribuan orang.

A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta akarta akartaakarta - Dukungan riil pemerintah terhadap sektor pertanian dinilai masih sangat lemah sehingga berimbas pada penurunan tingkat daya beli petani. Lemahnya dukungan regulator menjadi ciri khas dari negara berkembang seperti Indonesia. Kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju.

Dukungan para pemangku kepentingan di negara maju untuk sektor pertanian sangatlah besar. Ketua Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Agus Pakpahan, menyebutkan selama ini insentif dari pemerintah kepada petani sangat terbatas.

Dari sisi harga, misalnya, estimasi biaya produksi petani tebu yang dirilis oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sebesar 10.500 rupiah per kilogram (kg). Nilai itu jauh dari harga jual yang dipatok pemerintah sebesar 9.100 atau 9.700 rupiah. Hal sama juga berlaku untuk tanaman lainnya.

Marjin yang diterima petani sangatlah kecil. "Beberapa tahun terakhir, kepastian untuk mendapatkan insentif berkurang dibandingkan dulu. Pada 2006, marjin pemasaran yang diterima petani kurang lebih 80 persen, sekarang kecil sekali. Turunnya insentif membuat income (pendapatan) petani turun," tegasnya dalam diskusi terkait masalah pertanian di Jakarta, Kamis (2/8).

Akibatnya, lanjut Agus, luas lahan pertanian di RI kian mengecil. Luas lahan mengecil karena tidak ada ekonomi yang membaik di tingkat petani. Karenanya, solusi pemerintah untuk memperbaiki pendapatan petani harus terintegrasi, tidak boleh berdiri sendiri. "Itu mulai dari ekonomi makro, suku bunga, kebijakan perdagangan, infrastruktur pertanian, sumber biaya pertanian, resecach and development (R&D).

Itu semua harus nyatu karena akan menentukan daya saing pertanian kita. Jika itu kecil maka NTP (nilai tukar petani) akan menciut terus," kata Agus. Seperti diketahui, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan NTP nasional pada Juli lalu tercatat sebesar 101,66, turun 0,37 persen dari bulan sebelumnya.

Kepala BPS, Suhariyanto menegaskan penurunan NTP karena indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari kenaikan harga yang dibayar petani untuk dikonsumsi oleh rumah tangga maupun keperluan produksi pertanian.

Di sisi lain, secara umum permintaan berbagai produk pertanian cenderung turun pasca lebaran (Juni), sementara di sisi lain kebutuhan petani terhadap sejumlah kebutuhan pokok seperti telur, bahan bakar minyak (BBM), dan cabai tetap besar. Alhasil, kenaikan pendapatan petani tidak sebanding dengan kenaikan pengeluarannya.

Kurangi Impor

Peneliti Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bima Yudhistira, menyebutkan penurunan NTP salah satunya karena harga komoditas perkebunan, seperti sawit dan karet anjlok.

Kinerja ekspor dua produk unggulan tersebut sejak Januari-Mei turun 15 persen untuk minyak sawit, sedangkan 20 persen untuk karet.Untuk sektor pertanian, penigkatan impor beberapa komoditas pangan, seperti beras, gula, dan bawang merusak harga jual di petani.

ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top