Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Penerimaan Negara

Insentif Pajak Lebih Efektif Pacu Perekonomian

Foto : ISTIMEWA

Fithra Faishal Hastiadi

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diimbau bertindak lebih tepat mengeluarkan kebijakan yang bertujuan mengakselerasi perekonomian nasional. Untuk itu, pemberian insentif, khususnya pemotongan tarif pajak, dinilai paling tepat dengan kondisi ekonomi global yang melemah.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faishal Hastiadi dalam dialog bertajuk Urgensi Reformasi Pajak: Indeks Ketaatan Pajak vs Tradisi Pungli di Jakarta, Kamis (4/4), mengatakan selama ini, pemerintah lebih banyak memberi stimulus ke perekonomian melalui belanja modal dengan menggenjot infrastruktur.

"Pembangunan infrastruktur benar, namun belanja pemerintah itu dampaknya tak langsung ke masyarakat," kata Fithra.

Menurut dia, dalam kondisi keuangan negara di mana neraca transaksi berjalan defisit atau current account deficit (CAD), maka tidak ada pilihan selain menggenjot investasi ke dalam negeri. Investasi pun yang sifatnya penanaman modal asing langsung atau foreign direct investment (FDI) ke Indonesia saat ini malah memperparah CAD. Sebab, investasi yang masuk bukan berorientasi ekspor tetapi jasa sehingga devidennya keluar. "Jadi tax cut sebagai insentif fiskal akan lebih efektif," kata Fithra.

Dalam kesempatan sama, Managing Director DDTC, Darussalam mengatakan insentif pajak dibutuhkan untuk menarik investor masuk ke Indonesia. Asalkan, pemberiannya diiringi dengan perluasan basis pajak, bukan wajib pajak sudah ada yang terus dipajaki.

"Saya setuju pemotongan, asalkan ekstensifikasi, kalau tidak saat tax cut penerimaan sulit mencapai target, padahal pajak merupakan 72 persen dari sumber penerimaan negara," kata Darussalam.

Jangan Dibandingkan

Dia juga mengimbau agar tarif pajak di Indonesia tak dibandingkan dengan tarif di Singapura, yakni sekitar 17 persen karena negara tersebut memang mempunyai perlakuan khusus bagi pembayar pajak. Apalagi, tarif di Indonesia hampir kompetitif dengan tarif pajak di rata-rata negara Asia 21 persen dan di ASEAN 22,3 persen.

Pajak jika dibenahi, paparDarussalam, memiliki potensi yang besar terhadap sumber pembiayaan keuangan negara. Sebab, dilihat dari tax effort yang baru mencapai 43 persen, masih ada sekitar 57 persen yang belum digali. Potensi itu antara lain shadow economy yang jumlahnya sangat besar, termasuk digital economy dan pelaporan pajak yang tidak sesuai.

Ketua Badan Otonom, Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) Tax Center, Ajib Hamdani mengatakan target pajak yang ditetapkan pemerintah terlalu sulit untuk dicapai karena elastisitasnya dua kali dari seharusnya.

"Kalau target pertumbuhan 5,3 persen dan inflasi 3,5 persen, target kenaikan penerimaan pajak idealnya 8,8 persen, sedangkan pada 2019, targetnya 16 persen atau dua kali lipat," kata Ajib.

Dengan kondisi neraca transaksi berjalan yang negatif, saat ini sulit menggenjot ekspor untuk menutupi, sehingga mau tidak mau harus memacu investasi untuk menekan defisit tersebut. Pajak tambahnya bukan satu-satunya yang menjadi perhatian investor untuk masuk berinvestasi, tetapi masih ada deregulasi dan debirokratisasi. bud/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Vitto Budi

Komentar

Komentar
()

Top