Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pemerintah

Insentif ke Sektor Hulu Pertanian yang Masih Minim Harus Ditingkatkan

Foto : ANTARA/ADENG BUSTOMI

Pegawai Bulog memeriksa kondisi beras yang ada di Gudang Bulog Kantor Cabang Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, baru-baru ini.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah harus secepatnya memberikan insentif ke sektor hulu pertanian, yang saat ini masih minim. Caranya dengan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah. Tujuannya agar petani mau menjual hasil produksinya ke Bulog untuk dijadikan sebagai cadangan beras pemerintah (CBP).

Pemerintah diingatkan jangan mengambil cara instan dengan impor beras begitu harga beras bergerak naik. Masalah utama harus dibenahi yakni ke sektor hulu. Selama ini, pemerintah lebih memperhatikan konsumen ketimbang produsen pangan. Akibatnya, kebergantungan impor komoditas pangan tinggi, pemerintah lupa memperkuat produksi.

"Saat ini, CBP kita tinggal 800-900 ribu ton. Ini amat berbahaya, mestinya 1,5 juta ton. Karena kita alami paceklik dari Oktober hingga Februari, yang mana produksi akan jauh lebih rendah dibanding konsumsi, sangat jomblang yang memicu lonjakan harga beras," kata Ketua Umum Asosasi Bank Benih dan Teknologi Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, dalam diskusi virtual Waspadai Resesi Ekonomi dan Krisis Pangan, di Jakarta, Sabtu (1/10).

Karena itu, lanjut Dwi, arahan Badan Pangan Nasional yang meminta Bulog untuk secepatnya menyerap hasil produksi di wilayah Sulawesi karena di sana panen padi tengah dominan tidak akan terealisasi. "Kenapa? karena HPP terlalu rendah, petani tidak akan mau menjual, sehingga akan mengancam CBP," tandas Dwi yang juga merupakan Guru Besar Insitut Pertanian Bogor (IPB).

Ia memaparkan kenapa HPP perlu dinaikkan karena biaya produksi padi telah membuat kehidupan petani semakin terdesak. Harga acuan pemerintah (HPP) yang berlaku saat ini sudah tak lagi menutupi biaya produksi.

Menurut Dwi, biaya produksi padi naik tinggi selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, pendapatan petani tertekan. Berdasarkan hasil perhitungan AB2TI saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pekan lalu, biaya produksi padi tahun ini telah melonjak menjadi 5.876 rupiah per kilogram gabah kering panen (GKP). Ini meningkat dari tahun 2019 yang masih di angka 4.523 rupiah per kilogram.

Biaya Produksi Naik

Kenaikan biaya produksi yang tinggi tersebut disebabkan naiknya harga seluruh komponen biaya usaha tani, meliputi sewa lahan, upah buruh tani, dan sarana produksi yang naik dalam kisaran 25-35 persen selama tiga tahun terakhir ini.

AB2TI, terang Dwi, mengusulkan agar pemerintah segera memutuskan kenaikan HPP baru yang sebelumnya 4.200 menjadi 6.000 rupiah per kilogram GKP.

"Dengan kenaikan HPP diharapkan petani menjadi bersemangat kembali sehingga perlahan-lahan produksi padi dapat mengalami peningkatan di tengah penurunan produksi sebesar 0,35 persen per tahun selama pemerintahan saat ini (2015-2021)," sebutnya.

Dwi mengingatkan kenapa sektor hulu pertanian ini harus dibikin menarik karena selama 2011 hingga 2019, konversi lahan pertanian itu mencapai sejuta hektare. Pemerintah harus menutup peluang angka itu terus bertambah.

Makanya, dia menolak tegas adanya wacana impor beras yang digulirkan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, seiring dengan kenaikan harga beras dalam beberapa waktu terkahir. Kendati kenaikannya sedikit, tetapi saat ini petani menikmati keuntungan.

"Tetapi jangan imporlah, kasihan petani. Impor delapan komoditas pangan tahun lalu mencapai 27,7 juta ton, terbesar dalam sejarah Indonesia, masa mau impor beras lagi? Bukannya sudah dapat penghargaan swasembada pangan kemarin? Intinya, gimana saja caranya kendalikan harga ini, tetapi jangan impor," tegasnya.

Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilitas Pangan Badan Pangan Nasional, I Gusti Ketut Astawa, mengatakan pihaknya melakukan penguatan regulasi karena cadangan pangan nasional beras sekitar 800-900 ribu ton. "Ini harus ditingkatkan cadangan pangannya. Kami sedang berupaya merevisi Perpresnya," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Adapun beleid yang dimaksudkan untuk direvisi ialah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top