Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Cegah Deindustrialisasi Butuh Komitmen Kuat Pemerintah

Industrialisasi Lemah, Pertumbuhan Ekonomi Stagnan

Foto : ANTARA/Hafidz Mubarak A

Bambang Brodjonegoro

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak mampu beranjak dari level lima persen. Salah satu penyebab stagnasi pertumbuhan ekonomi tersebut adalah masih lemahnya industrialisasi. Oleh karena itu, pemerintah mesti sukses memperkuat pengembangan industrialisasi agar ekonomi tumbuh tinggi dan Indonesia bisa naik kelas menjadi negara maju.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan sebelum krisis 1998, perekonomian Indonesia bisa tumbuh di atas 7 persen. Hal itu selain didukung komoditas yang kuat yakni migas dan kayu, faktor terbesarnya adalah industri manufaktur yang kuat.

"Yang sebenarnya membuat Indonesia tumbuh di atas 7 persen dan stabil, juga disebut sebagai macan Asia adalah manufaktur," ujar Bambang, di Jakarta, Kamis (22/11). Setelah krisis, lanjut dia, industri manufakur mengalami kolaps akibat krisis rupiah yang sangat tajam sehingga banyak industri tidak bisa bertahan dan bangkrut.

Kemudian, imbuh Bambang, era komoditas muncul. Batu bara dan minyak kelapa sawit menjadi primadona. Indonesia dianggap terlalu agresif untuk memanfaatkan batu bara. Meskipun bukan produsen batu bara terbesar, Indonesia malah menjadi negara eksportir batu bara terbesar. "Jadi, kita ada tendensi over eksploitasi," ungkap Bambang.

Akibat terbuai dengan dua komoditas itu, upaya membangun kembali manufaktur pun terbengkalai. Indonesia juga belum selesai mengembangkan industrialisasi. "Padahal semua negara maju, di luar negara Arab yang kaya minyak, ekonomi besar itu negara yang sumbangan manufakturnya signifikan," tukas dia.

Bambang menilai yang terjadi di Indonesia saat ini bukan reindustrialisasi, melainkan prematur industrialisasi. Kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini hanya 20 persen, padahal di era sebelum krisis 1998 sumbangannya bisa mencapai 30 persen.

Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, Bappenas menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen, karena iklim global saat itu sangat bagus, harga komoditas sedang tinggi, ditambah kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang menguntungkan emerging market sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyentuh 6,5 persen.

Saat itu, Indonesia optimistis pertumbuhan ekonomi ke depannya bisa mencapai 7 persen. Namun ternyata, komoditas umurnya pendek dan harganya fluktuatif. Ini berbeda dengan manufaktur yang relatif stabil karena berdasarkan permintaan. "Itu yang bikin proyeksi Bappenas sampai 7 persen tidak bisa tercapai.

Kita belum kerjakan satu PR besar buat perekonomian Indonesia, yaitu industrialisasi," ungkap Bambang. Dia menegaskan jika industri manufaktur tidak berkembang, maka mustahil Indonesia menjadi negara maju pada 2045, tepat di usianya yang 100 tahun.

Bambang memprediksi dalam beberapa tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 5 persen. "Kalau mau lebih tinggi, harus ada reformasi struktural, harus ke manufaktur dan jasa modern," papar dia.

Belum Optimal

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Indef, Bhima Yudisthira, mengungkapkan pengembangan industri bahan baku nasional belum optimal. Akibatnya, impor bahan baku dan bahan modal tidak pernah turun karena tidak adanya industri dasar yang kokoh di dalam negeri.

Bank Indonesia (BI) juga memperingatkan impor barang modal dan bahan baku selama ini juga menunjukkan bahwa industri dalam negeri mengalami deindustrialisasi. Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Joni Hermana, mengatakan deindustrialisasi itu sebenarnya bisa dicegah.

Sebab, sumber daya manusia (SDM) dalam negeri sejatinya mampu untuk mewujudkan hal itu. Peningkatan peran industri dalam membantu perekonomian lebih bergantung pada iktikad dan niat pemerintah.

"Untuk naik kelas menjadi negara maju, sebetulnya kapasitas SDM kita tidak kalah. Kita mampu menerapkan industri skala tinggi sekalipun. Tetapi untuk menjalankan itu, tentunya environment-nya harus menunjang," papar Joni.

Menurut dia, aspek lingkungan penunjang itu yang perlu dibenahi, karena di dalamnya terdapat sistem dan perizinan. Kedua, hal ini juga tergantung dari goodwill pemerintah, sejauh mana mau menggunakan industri sebagai dasar tinggal landas negara.

SB/ahm/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top