Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kemandirian Ekonomi - Pemerintah Mesti Tindak Tegas Barang Plastik Impor Tak Ber-SNI

Industri Hilir Plastik Perlu Diproteksi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah didesak untuk memperketat impor produk barang jadi plastik untuk memproteksi industri hilir dalam negeri. Tujuannya agar sektor ini bisa memberikan kontribusi lebih besar dalam memajukan ekonomi Indonesia.

Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) menegaskan masifnya barang jadi plastik tersebut secara langsung mengganggu kinerja industri hilir plastik domestik. Hal itu disebabkan produk impor lebih diminati karena memiliki harga lebih murah.

"Karena produk-produk yang impor itu, barang-barang jadi yang masuk ke Indonesia jauh lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri," kata Sekretaris Jenderal Aphindo, Henry Chevalier, di Jakarta, Selasa (16/7).

Henry mencontohkan salah satu negara pemasok barang impor yang lebih murah ke Indonesia yaitu Tiongkok. Disampaikannya, alasan barang yang dijual oleh negara tersebut lebih murah disebabkan upah pekerja (labour cost) di sana bisa lebih rendah, serta tingginya ketersediaan bahan baku.

"Kenapa kita lebih mahal? Karena impor bahan bakunya, kemudian biaya listrik, upah buruh, kemudian biaya birokrasi seperti perizinan, cukai, pajak," ujarnya.

Karena itu, dirinya mendorong supaya pemerintah menerapkan pengetatan impor khususnya untuk barang jadi plastik di setiap regulasi yang diterapkan, terlebih apabila produk tersebut sudah diproduksi oleh industri domestik. Hal itu bertujuan supaya produk yang dihasilkan di dalam negeri bisa lebih terserap oleh pasar.

"Salah satu contoh yang dikeluarkan Permendag 36/2024, saya kira itu salah satu tools yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka proteksi industri dalam negeri. Tapi, tidak cukup hanya sebatas lartas (larangan dan pembatasan), tapi harus diatur tata impornya," ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan selain menerapkan pengetatan impor di setiap regulasi yang diterapkan, pemerintah dalam hal ini Bea Cukai mesti menindak tegas dan menolak barang plastik impor yang tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Misalnya spesifikasi yang masuk dari barang-barang impor jadi plastik itu tidak sesuai dengan spesifikasi SNI yang ada di Indonesia. Nah, itu tentunya peran dari Bea Cukai harus menolak itu, dan Bea Cukai harus paham SNI itu apa aja," katanya.

Utilisasi Turun

Sekretaris Jenderal Industri Olefin, Aromatik, dan Plasik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, menyampaikan pihaknya mencatat sudah ada penurunan utilisasi di industri plastik hilir hingga di bawah 50 persen. Terlebih lagi, masifnya barang impor di pasar domestik dibiarkan bisa berdampak kepada industri hulu yakni petrokimia.

"Itu sudah mulai terasa juga di beberapa pabrik hulu, ada yang sudah mematikan/shut down mesinnya, mereka wait and see," kata dia.

Pihaknya sepakat dengan Aphindo supaya pemerintah memperketat impor, khususnya untuk barang jadi plastik di regulasi apapun. Sebab, kebijakan yang kontraktif berpotensi melemahkan iklim investasi di Tanah Air sehingga berdampak pada penurunan kontribusi industri hulu.

Dia menjelaskan dampak positif industri petrokimia berdasarkan studi kasus investasi Naptha Cracker Terintegrasi bisa memberikan output langsung pada kontribusi perekonomian sebesar 41,04 triliun ruliah, menyerap tenaga kerja hingga 3,22 juta orang, peredaran upah hingga 8,56 triliun rupiah, serta manfaat fiskal berupa pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 2,67 triliun rupiah.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top