Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sumber Energi I Australia Setujui Investasi US$16 Miliar untuk Pasok Listrik ke Singapura

Indonesia Pasif, Australia Curi Peluang Investasi di Sektor EBT

Foto : ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA

Energi Baru Terbarukan (EBT)

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Komitmen Australia untuk mengekspor energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura dengan membangun kabel bawah laut sepanjang ribuan kilometer menjadi bukti nyata dari ketidakpedulian Indonesia terhadap potensi energi terbarukan di Tanah Air.

Anggota Ikatan Ahli Lingkungan Hidup (IALHI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Andi Sungkowo, di Yogyakarta, Kamis (22/8), mengatakan Singapura yang secara historis lebih dekat dengan Indonesia sebagai negara zamrud khatulistiwa, malah mengimpor energi surya dari Australia yang jaraknya berkali-kali lipat dari Indonesia.

"Ironisnya, di masa depan, Indonesia mungkin terpaksa membeli energi terbarukan dari Australia, sementara kita berada di khatulistiwa, wilayah yang memiliki akses langsung ke sinar matahari sepanjang tahun," kata Andi.

Andi menjelaskan Indonesia saat ini dihadapkan pada risiko besar, termasuk pajak karbon global yang semakin ketat akibat polusi yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kebergantungan pada energi fosil tidak hanya membuat Indonesia tertinggal dalam persaingan global, tetapi juga memaksa pemerintah untuk mengimpor energi terbarukan dari negara lain, seperti Australia.

Situasi tersebut sungguh miris. Di saat negara-negara maju seperti Jepang dan kota-kota di Eropa memiliki indeks kualitas udara (AQI) yang sangat baik, sekitar 16, di banyak kota di Indonesia, terutama di Jakarta, AQI mencapai angka 170, menjadikannya salah satu kota paling tercemar di dunia.

Bahkan Bali, yang terkenal dengan keindahan alamnya, juga tidak luput dari polusi. Di Denpasar, AQI berkisar antara 40-45, sementara di Pantai Kuta sekitar 16, setara dengan kota-kota maju di dunia.

Alih-alih mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan, pemerintah justru terus membangun PLTU. Jakarta kini dikepung oleh 16 PLTU dari Banten hingga Cirebon, menambah beban polusi yang sudah mengkhawatirkan.

Padahal, Australia siap berinvestasi sebesar 16 miliar dollar AS untuk proyek EBT mereka, sementara kita tertinggal jauh dalam hal kemandirian energi terbarukan.

Situasi ini tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kemauan politik, tetapi juga adanya pengecualian yang tidak masuk akal, seperti yang diberikan kepada PLN dari kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Proyek PLTS Cirata misalnya yang menggunakan teknologi dari Tiongkok, sementara pelanggaran ini dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah.

Menurut Andi, dampak dari polusi yang terus meningkat ini sangat nyata. Biaya pengobatan untuk penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) terus membengkak, dan usia harapan hidup masyarakat pun semakin pendek.

"Di Jakarta, jarak pandang semakin berkurang, bahkan untuk melihat gedung di jarak 100 meter saja sudah kelabu, seolah-olah tertutup kabut. Kerusakan ini mengindikasikan betapa mendesaknya kebutuhan akan Ibu Kota Negara (IKN) baru, jauh dari polusi yang sudah mendarah daging di Jakarta," kata Andi.

Kalau pemerintah benar-benar peduli dengan kesehatan masyarakat dan dampak polusi, seharusnya fokus diarahkan pada pembangunan EBT seperti tenaga surya, bukan PLTU.

"Saatnya Indonesia berbenah dan mengejar ketertinggalan dalam transisi energi terbarukan, sebelum kita terpaksa membayar mahal untuk kecerobohan ini," papar Andi.

Begitu pula dari aspek keamanan, impor model Singapura dari Australia juga berisiko terhadap keamanan infrastruktur energi bawah laut.

Manajer Riset Sekretaris Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan rencana Australia perlu disikapi serius pemerintah karena RI kaya akan sumber EBT

Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan ialah impor energi itu menimbulkan kebergantungan pasokan energi dari luar, dan bisa berisiko secara geopolitik dan ekonomi ketika ada perubahan kebijakan atau konflik dan ini juga akan mengesampingkan kedaulatan energi.

"Indonesia memiliki potensi EBT sangat besar, baik itu tenaga surya, angin, panas bumi, dan hidro/bio, saat ini bergantung pada goodwill (kemampuan) pemerintah. Sekiranya pemerintah bisa membuka investasi sektor EBT sekaligus untuk memperkuat komitmen penanganan pengurangan emisi karbon," tegas Badiul.

Pemerintah, lanjutnya, perlu memikirkan dampak ekonomi jangka panjang, impor energi dalam jangka pendek bisa menguntungkan karena murah, tetapi jangka panjang akan sangat merugikan, terlebih jika pemerintah masih seperti saat ini, setengah hati dalam mengembangkan EBT.

"Impor energi jelas akan melemahkan daya saing ekonomi Indonesia," tandasnya.

Harus Sadar

Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan pemerintah harus sadar bahwa EBT itu telah menjadi sumber kekayaan Indonesia, makanya sangat ironi bila ada rencana impor listrik.

"Suatu saat, RI pasti akan beli dari Australia atau kalau terus mempertahankan PLTU, maka akan terkena pajak karbon dunia. Makanya, RI harus beli EBT dari Australia, ke depan RI tidak bisa bersaing untuk membangun," kata Siprianus.

Indonesia, jelas Siprianus, sangat terbelakang untuk mandiri EBT. Padahal kalau melihat potensi yang ada, pemerintah tidak perlu susah untuk membangun sendiri, hanya dengan kemauan saja menjalankannya.

Dalam pembangunannya pun, pemerintah harus fair, tidak memberikan pengecualiaan untuk PLN. Selama ini dalam membangun, PLN diberi pengecualiaan dari kewajiban Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

"Jadi, aturan yang pemerintah buat soal TKDN justru tidak dipatuhi oleh PLN, ada pengecualiaan buat PLN," pungkas Siprianus.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top