Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter

IMF Minta Bank-bank Sentral di Asia Menaikkan Suku Bunga

Foto : ISTIMEWA

KRISHNA SRINIVASAN Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF - Banyak mata uang Asia terdepresiasi ‘cukup tajam’ karena pengetatan moneter AS menyebabkan melebarnya perbedaan suku bunga, membantu mendorong biaya impor untuk negara-negara tersebut.

A   A   A   Pengaturan Font

WASHINGTON - Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) mengimbau sebagian besar bank-bank sentral di Asia untuk memberlakukan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga acuan. Imbauan itu disampaikan karena kenaikan harga-harga komoditas dan depresiasi mata uang mereka yang didorong oleh kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di Amerika Serikat (AS) yang kuat.

Kenaikan itu menyebabkan inflasi di atas target yang sudah mereka targetkan sebelumnya.

Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Krishna Srinivasan, Kamis (13/10), mengatakan memberi pengecualian pada Tiongkok dan Jepang, karena pemulihan ekonominya lebih lemah, kendur tetap substansial dan inflasi tidak meningkat tajam seperti di negara lain.

"Banyak mata uang Asia terdepresiasi 'cukup tajam' karena pengetatan moneter AS menyebabkan melebarnya perbedaan suku bunga, membantu mendorong biaya impor untuk negara-negara tersebut," kata Srinivasan.

"Sementara baseline kami adalah inflasi mencapai puncaknya pada akhir tahun, depresiasi nilai tukar yang besar dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi dan persistensi yang lebih besar, terutama jika suku bunga global naik lebih kuat, dan memerlukan pengetatan kebijakan moneter yang lebih cepat di Asia," kata Srinivasan dalam keterangan persnya pada pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington, Kamis (13/10) waktu setempat.

"Debt Distress"

Depresiasi mata uang yang besar dan kenaikan suku bunga, jelas Srinivasan, juga dapat memicu tekanan keuangan di negara-negara Asia yang memiliki utang yang besar.

"Asia saat ini menjadi debitur terbesar di dunia selain sebagai penabung terbesar, dan beberapa negara berisiko tinggi mengalami debt distress," katanya.

Wakil Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Sanjaya Panth, dalam sebuah wawancara mengatakan sebagian besar kenaikan utang Asia terkonsentrasi di Tiongkok, dan juga terlihat di ekonomi lain.

"Beberapa bentuk tekanan pasar tidak dapat dikesampingkan. Tetapi, posisi yang relatif kuat dari banyak ekonomi memberi kita kenyamanan," katanya, menunjuk pada tingkat utang luar negeri yang rendah, cadangan yang lebih tinggi, dan sistem keuangan yang tangguh.

Menanggapi pernyataan IMF itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya, Yohanes B Suhartoko, mengatakan, pada awalnya Bank Indonesia (BI) tidak mengikuti kebijakan menaikkan suku bunga acuan seperti yang dilakukan negara lain, ketika the Fed menaikkan suku bunga acuan.

Hal itu karena preferensi pertumbuhan lebih ditonjolkan daripada stabilisasi harga dan nilai tukar. Namun, semakin kuatnya kenaikan suku bunga the Fed telah menyebabkan terjadinya capital outflow, sehingga mendorong BI menaikkan suku bunga acuan secara akumulatif sampai dengan 75 basis poin. "Artinya, preferensi BI bergeser ke stabilisasi harga dan nilai tukar," terangnya.

Pertumbuhan ekonomi berpotensi terkoreksi, namun tidak terlalu besar, karena masih ditopang ekspor komoditas yang besar, serta masih tumbuhnya kredit perbankan yang relatif cukup likuiditasnya.

"Namun ke depan, inflasi dari sisi penawaran dan volatile food juga harus diperhatikan. Hal itu menjaga supaya daya beli masyarakat tetap stabil di tengah tekanan ekonomi," pungkasnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top