Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ilmuwan Singapura Temukan Obat Pembunuh Virus DBD Superampuh

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Setelah menghabiskan waktu 10 tahun untuk penelitian tentang demam berdarah, tim ilmuwan dari Program Penelitian Translasi Imunologi di Fakultas Kedokteran Universitas Nasional Singapura, berharap uji klinis obat superampuh ini dapat dimulai dalam 18 hingga 24 bulan ke depan.

Bayangkan suatu hari ketika pasien demam berdarah dengue (DBD) bisa dibawa masuk ke poliklinik, didiagnosis jenis demam berdarahnya dan pulang untuk beristirahat setelah mendapatkan suntikan antibodi yang bisa membunuh virus tersebut dalam waktu enam jam saja.

Segera setelah itu, para pasien dapat melakukan aktivitas seperti biasa, dan terlebih lagi, nyamukAedes aegyptiyang menggigit mereka tidak akan menyebarkan infeksi ke anggota keluarga lainnya.

Menghilangkan penyakit DBD, bisa dibilang adalah apa yang telah dilakukan rekan peneliti Profesor Paul MacAry sepanjang kariernya, dan kini ia telah semakin dekat untuk menemukan obat pembunuh virus DBD setelah menghabiskan waktu 10 tahun untuk mencapai terobosan pertamanya.

Pada tahun 2012, MacAry dan timnya dari Program Penelitian Translasi Imunologi di Fakultas Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura (NUS Medicine), berhasil mengisolasi antibodi manusia setelah menyaring "ratusan juta" antibodi yang berasal dari individu yang telah pulih dari DBD serotipe 1.

Semua pasien DBD yang diteliti antibodinya adalah pasien dari Rumah Sakit Universitas Nasional dan Rumah Sakit Tan Tock Seng.

"Secara garis besar, kami temukan antibodi yang tampaknya membunuh virus dalam beberapa jam, dan melakukannya pada konsentrasi yang jauh lebih rendah daripada antibodi lain yang kami isolasi," kata MacAry, yang juga direktur Institut Ilmu Hayati di NUS

Para peneliti awalnya mengira apa yang mereka temukan adalah sebuah kesalahan. Tetapi setelah dilakukan tes berulang kali menunjukkan sebaliknya. "Potensinya di luar grafik," kata MacAry. "Itu karena ini adalah antibodi yang sudah bisa melawan infeksi dengue," imbuh dia seperti dilansirChannel New Asia, Minggu (13/11).

Saat ini menurut MacAry, para ilmuwan tidak hanya mengisolasi antibodi untuk keempat serotipe demam berdarah, tetapi juga membuat beberapa kilogram substansi ini dan bersiap untuk uji klinis dari empat obat superampuh.

Para ilmuwan NUS ini telah menjalin kerja sama dengan sektor swasta dengan alasan karena mencoba mengembangkan obat-obatan baru bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan hanya dengan mengandalkan pendanaan dari pemerintah.

"Kami sedang dalam proses penggalangan dana untuk mendukung pendirian jalur produksi dan uji klinis," tambah MacAry seraya memperkirakan uji coba pertama pada serotipe 1, akan dimulai dalam 18 hingga 24 bulan mendatang.

Obat baru untuk demam berdarah tidak hanya menguntungkan Singapura, yang mengalami lonjakan kasus secara berkala dan telah melaporkan lebih dari 29.500 kasus DBD sepanjang tahun ini.

Insiden global demam berdarah telah tumbuh secara dramatis, dan sekitar setengah populasi dunia sekarang berisiko terkena DBD, menurut Organisasi Kesehatan Dunia.

Diperkirakan 100 juta hingga 400 juta infeksi terjadi setiap tahun, dengan lebih dari 80 persen kasus ringan dan tanpa gejala. Tetapi dalam kasus yang parah, orang akhirnya mengalami demam berdarah yang mengancam jiwa atau sindrom syok dengue.

Gejala DBD seperti sakit kepala parah, nyeri di belakang mata dan muntah, juga bisa membuat banyak penderita dirawat di rumah sakit. Dan kehadiran empat jenis demam berdarah berarti setiap orang dapat tertular penyakit yang ditularkan nyamuk sebanyak empat kali.

Hentikan DBD Terparah

Menurut MacAry, obat-obatan yang dikembangkan timnya akan menjadi terapi paling ampuh untuk demam berdarah yang ada saat ini.

Meskipun ada vaksin yang menargetkan keempat jenis demam berdarah yang sedang dikembangkan, seperti vaksin buatan perusahaan Jepang, Takeda Pharmaceutical, yaitu Qdenga, yang telah mendapatkan persetujuan pertamanya di Indonesia pada Agustus lalu, namun hingga saat ini tidak ada terapi khusus untuk pasien demam berdarah.

Ketika terkena DBD, pasien mungkin akan diberi cairan infus untuk menggantikan cairan yang hilang, dan parasetamol dapat mengurangi sakit kepala, dan pasien harus menunggu sistem kekebalan mereka agar mengatasi infeksi, kata MacAry.

Terapi ini, menurut MacAry, bisa memakan waktu sekitar dua pekan.

"Apa yang kami coba lakukan adalah menghentikan orang dari manifestasi bentuk penyakit demam berdarah yang paling parah," kata MacAry. "Obat kami dirancang untuk dimasukkan ke dalam darah pasien yang terinfeksi, dan itu akan berpindah ke virus, mengikatnya, dan membunuhnya (dalam waktu enam jam)," imbuh dia.

Hal luar biasa lainnya adalah obat tersebut bisa menghentikan nyamuk menyebarkan virus. Ini karena antibodi mengikat virus dan mencegah nyamuk terinfeksi demam berdarah dari menggigit manusia, kata dia.

MacAry menggambarkan antibodi sebagai molekul penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia, dengan satu set sel yang disebut limfosit B menjadi sumber utama antibodi dalam darah kita.

Setiap sel B hanya membuat satu jenis antibodi, dan antibodi ini harus mampu menargetkan semua patogen yang terpapar pada manusia, mulai dari influenza hingga demam berdarah hingga Covid-19.

"Anda memiliki jumlah sel B yang relatif kecil yang spesifik (untuk target tertentu, seperti demam berdarah). Inilah sebabnya mengapa Anda harus menyaring jumlah yang sangat besar untuk menemukan (antibodi spesifik)," tutur dia.

Ini juga sebabnya tidak mudah untuk mengisolasi antibodi yang membunuh virus atau patogen tertentu; terobosan seperti itu tidak mungkin terjadi dua dekade lalu, ungkap MacAry. "Otomasi dan informatika bertenaga kecerdasan buatan telah memungkinkan semua ini," imbuh dia. I-1

Senjata Paling Kuat untuk Melawan Penyakit

Penelitian MacAry yang dilakukan di laboratorium untuk mengisolasi, menemukan, dan merekayasa antibodi baru, ternyata melampaui upayanya untuk mengobati demam berdarah.

Apa yang MacAry sukai tentang studi tentang sistem kekebalan adalah dampaknya yang besar pada kesehatan manusia, mulai dari kanker hingga penyakit kronis. "Sistem kekebalan adalah senjata paling ampuh yang kita miliki untuk membantu memerangi penyakit manusia," kata MacAry.

Berdasarkan onkologi (ilmu kedokteran yang fokus pada penyakit kanker), obat terbaik yang kita miliki untuk menargetkan kanker adalah antibodi yang kita gunakan untuk menargetkan dan membunuh sel tumor.

Dalam kasus teknologimessenger ribonucleic acid(mRNA) untuk vaksin Covid-19, para ilmuwan menggunakan molekul mRNA untuk mengajari tubuh melawan duri protein virus korona.

"Hal itu menimbulkan respons antibodi dan respons imun terhadap duri protein yang pada akhirnya melindungi individu dari penyakit parah, "kata MacAry.

Seandainya Covid-19 terjadi seabad yang lalu, MacAry memperkirakan dunia akan mengalami situasi seperti wabah influenza Spanyol 1918, dengan puluhan juta orang meninggal dan dampak selama puluhan tahun. Angka itu amat luar biasa jika dibandingkan dengan pandemi Covid-19 yang mengakibatkan sekitar 6,5 juta kematian hingga saat ini.

Sebaliknya, ilmu pengetahuan modern memungkinkan para peneliti dan perusahaan farmasi untuk mengeluarkan vaksin Covid-19 pertama dalam hitungan beberapa bulan setelah patogen diidentifikasi, berbeda dengan pengembangan vaksin tradisional, yang membutuhkan setidaknya delapan tahun, ungkap MacAry.

Pada tahun pertamanya, program vaksinasi Covid-19 berhasil mencegah 19,8 juta dari 31,4 juta potensi kematian di seluruh dunia, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada jurnalThe Lancet Infectious Diseasesedisi Juni.

Saat ini, lebih dari setengah obat terlaris di dunia adalah obat berbasis antibodi, dan mereka digunakan untuk mengobati penyakit yang dulunya dianggap sebagian besar tidak dapat diobati, seperti rheumatoid arthritis, kata MacAry.

"Ini adalah salah satu disiplin medis yang mendasari beberapa penemuan baru terbesar dalam kedokteran," ucap dia. I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top