Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Nilai Tukar

Hati-hati Sikapi Pelemahan Kurs Ringgit

Foto : ISTIMEWA

ALOYSIUS G BRATA Pengamat Eekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta - Pergerakan nilai tukar suatu mata uang juga menjadi cermin beres tidaknya pengelolaan perekonomian negara

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta berhati-hati menyikapi pelemahan nilai tukar ringgit Malaysia terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu yang sempat menyentuh titik terendah sejak krisis moneter 1998 lalu.

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan perlunya berhati-hati karena rupiah dan mayoritas mata uang Asia pekan lalu melemah lantaran kebijakan the Fed yang belum akan menurunkan suku bunga acuannya karena ingin memastikan kalau inflasi di AS sudah benar-benar terkendali.

Pergerakan rupiah, kata Aloysius, memang lebih baik dibanding dengan mata uang lain, seperti won Korea, ringgit Malaysia, dan baht Thailand yang masing-masing melemah 3,69 persen, 4,27 persen, dan 5,31 persen. Rupiah sendiri tercatat melemah 1,68 persen dari level akhir Desember 2023.

"Namun demikian, apa yang terjadi di Malaysia menggambarkan bahwa tekanan eksternal maupun kondisi geopolitik yang serba tak menentu dan menggambarkan masih rentannya ekonomi dunia kiranya penting untuk diperhatikan. Pergerakan nilai tukar suatu mata uang juga menjadi cermin beres tidaknya pengelolaan perekonomian negara," kata Aloysius.

Apalagi ekspor Indonesia seperti disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, turun 8,06 persen pada Januari 2024 akibat jatuhnya harga komoditas andalan ekspor Indonesia. "Pengelolaan perekonomian nasional menjadi kian urgent karena saat ini warga masyarakat terutama yang tidak termasuk dalam kelompok yang mendapatkan bantuan dari pemerintah, makin mengeluhkan melonjaknya harga sembako," kata Aloysius.

Rekannya, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, menuturkan pelemahan rupiah terhadap dollar AS dari sisi fundamental karena meningkatnya inflasi Indonesia. "Berikutnya adalah defisit neraca transaksi berjalan yang terus-menerus yang mencerminkan meningkatnya permintaan dollar AS sebagai mata uang utama," kata Suhartoko.

Hal yang tidak kalah penting adalah meningkatnya risiko ekonomi, keuangan, dan politik yang akan menimbulkan sentimen negatif terhadap rupiah.

Belajar Dari Krisis

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan Indonesia harus belajar dari krisis moneter tahun 1997 yang awalnya dipicu krisis mata uang bath Thailand. Sekarang, dengan tingkat suku bunga Fed yang tidak turun mengakibatkan Bank Indonesia juga tidak menurunkan tingkat suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Apalagi ada kenaikan harga beras yang mendorong inflasi karena harga pangan lain naik, sehingga ada kecenderungan tingkat suku bunga belum diturunkan untuk mengendalikan inflasi.

"Kita harus hati-hati takutnya kondisi lesu karena tingkat suku bunga tinggi dan inflasi tinggi," kata Esther.

Pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan untuk memperkuat rupiah, pendekatan moneter yang diterapkan BI harus memperhatikan keberadaan sektor riil.

"Nilai tukar negara yang sedang berkembang seperti kita memang sensitif dengan ketidakpastian ekonomi di luar dan pengetatan suku bunga memang menjadi cara yang paling mudah untuk menahan modal keluar. Tetapi, bagi negara berkembang itu akan berdampak pada sektor riil, padalah penting juga dijaga," kata Wibisono.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top