![](https://koran-jakarta.com/img/site-logo-white.png)
Harga TBS Masih Anjlok, Petani Swadaya Harus Dibantu
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI), Eugenia Mardanugraha dalam diskusi terkait industri sawit di Jakarta, Jumat (16/9).
Foto: Istimewa.JAKARTA - Pemerintah harus memikirkan nasib petani swadaya, sebab saat ini harga tandan buah segar (TBS) masih anjlok belum menyentuh 2.500 rupiah per kilogram (kg), bahkan sebelumnya pernah 1.000 rupiah.
Karenanya peningkatan ekspor crude palm oil (CPO) bakal meningkatkan permintaan tandan buah segar (TBS) petani. Pada saat bersamaan harga TBS akan naik yang diikuti dengan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani.
Dengan kata lain, kebijakan domestic market obligation (DMO) yang membatasi ekspor bakal menghambat produktivitas petani. Instrumen yang tepat ialah melalui pungutan ekspor atau pengenaan bea keluar.
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI), Eugenia Mardanugraha menegaskan, semua kebijakan pemerintah yang paling terdampak itu ialah di susu hulu yakni, petani swadaya. Termasuk kebijakan DMO yang belum juga dicabut.
Kata dia, kebijakan DMO menahan penurunan suplai atau menahan kenaikan harga CPO domestik dan dengan sendirinya harga TBS akan terhambat naik dan peningkatan produktivitas TBS petani terhambat. "Memang ada faktor lainnya tetapi faktor utamanya karena kebijakan ini," ucapnya dalam diskusi virtual terkait sawit di Jakarta, Jumat (16/9).
Dia menerangkan, apabila DMO dicabut maka ekspor CPO akan berjalan lancar. Hal itu bakal meningkatkan permintaan TBS petani, membuat harga TBS naik, dan dengan sendirinya produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat.
"Jika TBS dibeli oleh produsen CPO maka kenaikan permintaan akan membuat harga TBS naik misalnya 2.000 ke 3.000 rupiah per kilo gram. Efeknya petani TBS akan meningkatkan suplainya. Lalu produktivitas petani akan meningkat tidak seperti kemarin, misalnya beberapa waktu lalu saat harga TBS di bawah 1.000 rupiah per kilo gram,siapa yang mau tanam TBS. Kalau harganya 3.000 tentu petani akan memperbaiki kualitas TBS-nya dan menambah jumlahnya," ungkap Eugenia.
Dia menegaskan suplai minyak goreng dalam negeri tidak ditentukan oleh banyak tidaknya ekspor CPO. Selama terjadi peningkatan produktivitas (TBS maupun CPO) kebutuhan CPO domestik tetap akan terpenuhi, berapapun banyaknya ekspor.
Sebenarnya lanjut dia, ada instrumen lain yang bisa dilakukan melalui pungutan ekspor dan bea keluar untuk mengendalikan ekspor CPO. Lalu hasil pungutan ekspor CPO itu dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng dalam perekonomian, sehingga harga minyak goreng terkendali.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menerangkan kebijakan DMO+DPO yang merupakan kebijakan tariff barrier export potensial menimbulkan risko ketidakpastian dan menciptakan inefisiensi dalam perdagangan minyak sawit.
"Ini sebagian besar ditransmisikan menjadi beban petani sawit dalam bentuk penurunan harga dan kesulitan pemasaran TBS petani," tuturnya pada kesempatan yang sama.
Tungkot meminta pemerintah untuk mempersiapkan lebih matang arah kebijakan industri sawit ke depannya. Sebab minyak nabati dunia berada pada excess demand. Hingga 2050, sehingga tren harga cenderung naik yang memerlukan pengelolaan kepentingan domestik dan ekspor.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 PLN UP3 Kotamobagu Tanam Ratusan Pohon untuk Kelestarian Lingkungan
- 2 Belinda Bencic Raih Gelar Pertama
- 3 Ada Efisiensi Anggaran, BKPM Tetap Lakukan Promosi Investasi di IKN
- 4 Regulasi Pasti, Investasi Bersemi! Apindo Desak Langkah Konkret Pemerintah
- 5 Mantan Kadisbudpar Cianjur benarkan diperiksa Polda Jabar soal Cibodas