Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ekonomi Global I Rasio Utang di Negara Maju Sangat Tinggi 420 Persen dari PDB

Harapan Bahwa Resesi Akan Dangkal Adalah Delusi

Foto : ISTIMEWA

NOURIEL ROUBINI Chief Executive Officer (CEO) Roubini Macro Associates - Resesi berikutnya bersifat stagflasi yang disertai krisis keuangan, jatuhnya pasar ekuitas bisa mendekati 50 persen.

A   A   A   Pengaturan Font

NEW YORK - Ekonom dari Universitas New York yang juga Chief Executive Officer (CEO) Roubini Macro Associates, Nouriel Roubini, menyampaikan pandangannya yang pesimistis terhadap perekonomian sehingga menarik perhatian di Wall Street.

Selama bertahun-tahun, ekonom terkemuka itu berpendapat bahwa "badai yang komplet" akan mendorong ekonomi Amerika Serikat (AS) ke dalam "depresi hebat", yang menandai kemerosotan ekonomi terburuk dalam sejarah.

Pada Senin (25/7), dia sekali lagi memperingatkan bahwa bencana resesi sudah dekat. "Saya pikir ada banyak alasan mengapa kita akan mengalami resesi yang parah dan utang yang parah serta krisis keuangan," kata Roubini kepada Bloomberg.

Para ekonom dan bank investasi telah memperdebatkan kemungkinan resesi yang menghantam ekonomi AS tahun ini karena Federal Reserve melanjutkan perjuangannya melawan inflasi setinggi empat dekade.

Roubini berpendapat bahwa konsensus Wall Street telah bergeser baru-baru ini, dan sebagian besar ahli percaya The Fed tidak akan dapat memastikan pendaratan lunak bagi ekonomi, di mana inflasi dikendalikan tanpa memicu resesi.

Namun, Roubini mencatat banyak ekonom dan veteran Wall Street berpendapat bahwa resesi yang akan datang akan menjadi "pendek, dangkal, ringan, seperti tumbuhan di taman".

"Saya mohon untuk tidak setuju. Gagasan bahwa ini akan singkat dan dangkal, itu benar-benar delusi (kondisi di mana penderita tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak-red) ," katanya.

Roubini, yang sering disebut sebagai "Dr. Doom", menunjuk pada "rasio utang yang tinggi secara historis" di negara-negara maju di seluruh dunia, mengeklaim bahwa persentase utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di negara maju sekarang mencapai 420 persen "dan terus meningkat".

Dia juga mencatat bahwa ada "banyak perusahaan zombie" yang telah menggunakan utang murah yang tersedia selama pandemi untuk membangun bisnis yang tidak akan pernah terukur atau menguntungkan.

Selain itu, Roubini mengatakan bahwa "rumah tangga, pemerintah, dan perusahaan ditebus selama pandemi" oleh penurunan suku bunga The Fed dan dukungan dari pemerintah federal yang tidak akan tersedia selama penurunan ekonomi ini. Dia melanjutkan untuk membandingkan keadaan ekonomi AS saat ini, yang menurutnya berada dalam periode stagflasi (pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi), dengan periode tekanan ekonomi sebelumnya dalam sejarah AS.

Resep Bencana

Pada 1970-an, dia mencatat ekonomi AS berjuang untuk melawan stagflasi, tetapi rasio utang rendah, sementara setelah krisis keuangan hebat ada krisis utang, tetapi inflasi tidak menjadi masalah.

Kali ini, kata Roubini, kita memiliki lingkungan yang stagflasi dan "rasio utang yang secara historis tinggi", dan itu adalah resep untuk bencana.

The Fed diperkirakan akan menyetujui kenaikan suku bunga 75 basis poin lagi minggu ini untuk memerangi inflasi tahunan 9,1 persen yang mengganggu orang Amerika. Langkah ini mengikuti kenaikan suku bunga Juni yang merupakan yang paling agresif sejak 1994, dan Wall Street memperkirakan The Fed akan terus menaikkan suku bunga sepanjang tahun.

Ekonom Morgan Stanley, Ellen Zentner, saat memaparkan sebuah hasil penelitian pada awal pekan ini mengatakan bahwa inflasi inti yang tidak memperhitungkan harga energi dan makanan yang bergejolak akan tetap tinggi bergerak maju. Hal itu memaksa The Fed menaikkan suku bunga lebih banyak di masa mendatang.

Tim Morgan Stanley melihat tingkat dana federal mencapai puncaknya 3,625 persen pada Desember, dan berpendapat tidak akan ada penurunan suku bunga sampai akhir 2023.

Roubini berpendapat pasar saham akan berkinerja buruk di lingkungan yang lebih menantang ini. Ekonom menulis dalam opini akhir Juni di komentar dan publikasi analisis Project Syndicated bahwa saham AS bisa turun 50 persen dari puncaknya pada akhir 2021.

Untuk S&P 500, itu berarti penurunan ke 2.400 atau kira-kira 40 persen dari level saat ini.

"Dalam resesi biasa, ekuitas AS dan global cenderung turun sekitar 35 persen," tulisnya.

"Tetapi, karena resesi berikutnya akan bersifat stagflasi dan disertai dengan krisis keuangan, jatuhnya pasar ekuitas bisa mendekati 50 persen," pungkasnya.

PDB Turun

Sebelumnya, Kepala Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI), Wira Kusuma, mengatakan staglasi disebabkan empat hal. Keempat hal yang memicu stagflasi itu adalah pandemi Covid-19, ketegangan geopolitik Russia-Ukraina, tren proteksionisme, serta gangguan rantai pasok atau supply chain disruption.

Inflasi yang tengah melanda perekonomian global saat ini, jelasnya, disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas yang juga didukung dengan proteksionisme dan gangguan rantai pasok. Pada akhirnya, kondisi itu mendorong akselerasi respons moneter dan membuat produk domestik bruto (PDB) dunia akan mengalami tren penurunan.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Ahmad Akbar Soesamto, meminta pemerintah menggunakan anggaran belanja untuk kegiatan-kegiatan produktif yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pasalnya, saat ini pembayaran bunga utang telah mencapai 17,8 persen dari total belanja atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 12,3 persen.

"Dengan bunga utang yang cukup besar ini, anggaran untuk membayar bunga utang tersebut jadi tidak bisa digunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif," katanya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top