Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengendalian Impor I Permudah Iklim Investasi EBT agar Tak Bergantung Migas

Gunakan Hasil Bea Masuk untuk Industri dalam Negeri

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kian melebarnya defisit neraca perdagangan akibat melonjaknya produk luar negeri mesti segera dicegah dengan pengendalian impor berupa penerapan bea masuk. Kebijakan untuk menekan impor ini juga merupakan sinyal bagi produsen asing yang ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar semata.

Selain itu, pendapatan negara dari bea masuk dapat digunakan untuk pengembangan industri dalam negeri.

Direktur Program Institute for Developmet of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan pemerintah harus membatasi impor konsumsi dengan tarif bea masuk (tariff barrier) untuk melindungi produk dalam negeri.

"Tetapi itu hanya langkah penyelamatan yang bersifat sementara, terpenting adalah berupaya membangun fundamental industri nasional agar bisa menghasilkan produk yang berkualitas bagus dan harganya kompetitif," ujar Esther saat dihubungi di Jakarta, Rabu (18/12).

Menurut Esther, penerapan bea masuk untuk produk-produk konsumtif menandakan pemerintah serius melindungi produk dalam negeri. "Kebijakan bea masuk akan menghambat produk asing masuk," jelasnya.

Esther menambahkan, bersamaan dengan penerpan bea masuk impor, pemerintah juga memperkuat industri dalam negeri yang bersifat komprehensif dan melakukan sinergi dengan berbagai pihak.

"Untuk itu, kemudahan memperoleh input, seperti bahan baku, listrik, gas, air bagi kelangsungan industri menjadi hal utama yang perlu diperhatikan. Artinya, kemudahan mengakses pasar domestik dan pasar ekspor bagi produsen dalam negeri, inovasi, dan teknologi untuk menguatkan industri Indonesia perlu di-support oleh pemerintah," ujarnya.

Sebelumnya, peneliti ekonomi Indef, Bhima Yudhistira, mengungkapkan saat ini semakin banyak barang impor asal Tiongkok yang membanjiri pasar Indonesia. Selain lewat jalur konvensional, produk impor Tiongkok mulai masuk secara masif lewat platform e-commerce.

"Perusahaan Tiongkok suntik modal besar-besaran ke e-commerce lokal sehingga mereka menampung produk murah Tiongkok, bahkan diberi gratis ongkir," jelas dia, Selasa (17/12).

Menurut Bhima, fenomena itu memperburuk defisit neraca dagang. Solusinya, bisa melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 yang mewajibkan platform e-commerce memprioritaskan produk lokal dibandingkan impor.

"Jadi, aturan teknis dalam bentuk Permendag, harapannya akan membatasi konten impor di e-commerce. Misalnya 60-70 persen produk wajib konten lokal dan hanya 30 persen yang impor," kata Bhima.

Selain itu, dia juga sepakat wacana pengenaan bea masuk tanpa batasan harga untuk menekan banjir impor barang konsumsi via e-commerce. Selama ini, bea masuk hanya dikenakan pada barang impor di e-commerce dengan batasan harga 75 dollar AS ke atas. Namun, kini ada wacana pemerintah bakal kembali menurunkan ambang batas tersebut. Dengan demikian, pengiriman barang yang murah sekalipun bakal kena bea masuk.

"Sudah seharusnya impor melalui e-commerce diperketat pengawasan maupun dinaikkan bea masuknya. Dengan aturan sebelumnya ada banyak cara untuk menghindari bea masuk, misalnya, pengiriman barang yang dipisah sehingga nilai nominalnya di bawah 75 dollar AS," papar Bhima.

Bangun Pertanian

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M Nafik mengatakan peningkatan produksi dalam negeri mesti menjadi prioritas pembangunan nasional.

"Daripada boroskan devisa sekitar 15 miliar dollar AS hanya untuk impor pangan, lebih baik dananya digunakan untuk pengembangan petani lokal meningkatkan produksi," katanya.

Nafik menambahkan, pemerintah juga harus meningkatkan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) agar tidak selalu bergantung pada energi fosil. "Beban neraca perdagangan karena impor minyak dan gas, untuk itu mesti ada penggantinya, yaitu EBT," katanya.

Menurut Nafik, pemerintah harus mempermudah iklim investasi di bidang EBT agar investor leluasa. Sebab, tanpa peran investor rasanya akan sulit bisa berkembang dan akan makin ketinggalan dengan negara lain yang sudah jauh melangkah.

"Pengembangan EBT berdampak bukan hanya untuk defisit neraca perdagangan tapi energi yang berkelanjutan," pungkas Nafik. uyo/SB/AR-2

Penulis : Djati Waluyo, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top