Glodok Plaza, Pusat Elektronik Bersejarah dengan Masa Lalu Kelam
Gedung Glodok Plaza yang terbakar pada Rabu (15/1) malam, memiliki sejarah panjang dan kelam.
Foto: Koran Jakarta/Paundra ZakirullohGlodok Plaza, yang mengalami kebakaran hebat pada Rabu (15/1) malam, bukan sekadar pusat elektronik terkenal di Jakarta. Gedung ini memiliki sejarah panjang dan kelam.
Sebelum menjadi ikon pusat elektronik, Glodok Plaza berdiri di atas lahan bekas penjara kolonial yang dibangun pada tahun 1743. Awalnya dikenal sebagai Strafinrichting Glodok, penjara ini menjadi tempat untuk menahan warga Tionghoa yang memberontak melawan penjajah Belanda.
Penjara ini memiliki reputasi mengerikan: kondisi kumuh, kelaparan, dan penyiksaan. Banyak tahanan meninggal akibat penyakit seperti disentri atau dieksekusi mati di halaman belakang penjara.
Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta, pernah ditahan di Penjara Glodok selama 10 bulan sebelum diasingkan ke Boven Digul dan Banda Neira.
Di masa Orde Lama, penjara ini berubah fungsi menjadi Lembaga Pemasyarakatan Khusus (LPK). Yon Koeswoyo dan personel Koes Bersaudara lainnya sempat ditahan di sini karena memainkan musik Barat yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme kala itu.
Pada tahun 1977, LPK Glodok diubah menjadi kawasan pertokoan modern, yang kemudian dikenal sebagai Glodok Plaza. Penjara yang dianggap tidak layak itu dijual kepada investor seharga Rp560 juta, dan sekitar 500 tahanan dipindahkan ke Lapas Cipinang.
Setelah diresmikan, Glodok Plaza menjadi pusat perbelanjaan terkemuka, khususnya di bidang elektronik, pada era 1980-an hingga 1990-an. Meskipun kini popularitasnya sedikit memudar, Glodok Plaza tetap menjadi bagian penting dari sejarah Jakarta.
Berita Trending
Berita Terkini
- Indonesia di Ambang Era Baru: Pembatasan Media Sosial untuk Anak
- Belajar dari Dunia: Bagaimana Negara Lain Mengatur Media Sosial untuk Anak
- GGregoria Bertemu Unggulan Pertama di Semifinal India Open
- Ole Gunnar Solksjaer Jadi Pelatih Sekaligus Direktur Teknis Besiktas
- Sejarah Lisan dan Dunia Kerja: Menyingkap Diskriminasi Kemanusiaan di Indonesia