Gerakan Pro-demokrasi di Negara Ini Was-was, Militer dan Pendukung Mantan Diktator Bersekutu untuk Kembali Berkuasa
Kelompok pro-demokrasi menuntut penyelenggaraan pemilihan umum dan menolak keterlibatan elit lama Sudan di pemerintahan transisi.
JAKARTA - Junta militer Sudan membebaskan tokoh partai-partai Islam yang loyal kepada bekas diktator, Omar al-Bashir. Para jenderal dicurigai memadu "aliansi kotor" dengan elit lama Sudan untuk terus berkuasa lewat pemilu. DWmelaporkan, Sabtu (23/4).
Sejak Jenderal Abdel Fattah al-Burhanmerebut kekuasaan di Sudan melalui kudeta enam bulan lalu, pejabat-pejabat lama yang digulingkan bersama diktator Omar al-Bashir dan menghilang di balik teralipenjara, satu per satu dibebaskan.
Rehabilitasi terhadapkader Partai Kongres Nasional (NCP)itu, berbarengan dengan upaya junta militer Sudan menyelenggarakan pemilu di tengah tekanan donor internasional dan aksi demonstrasi pro-demokrasi di jalan-jalan.
Kembalinya NCP yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin itu diresmikan Senin (18/4) lalu. Bersama sembilan partai Islam lain, NCP mengumumkan koalisi baru bernama "Arus Umum Islam" untuk menyongsong datangnya pemilu.
Aliansi itu mencakup Partai Hukum dan Pembangunan pimpinan Mohammed Ali al-Jazouli, salah seorang simpatisan Islamic State, lapor harian Sudan Tribune.
Sejak beberapa bulan lalu, sebuah pengadilan khusus secara rutin memulihkan jabatan sejumlah birokrat eks pemerintahan Bashir. Para kader NCP itu kembali diizinkan memangku jabatan semula di Bank Sentral, Kementerian Kehakiman dan Kejaksaan, Kementerian Luar Negeri dan Sekretariat Kabinet.
Pada saat yang bersamaan, junta menahan pejabat yang memerintahkan pembekuan aset NCP dan semua yang berafiliasi dengan bekas diktator al-Bashir. Sekitar 1.000 rekening bank yang dibekukan Maret silam, kembali dibuka hanya dua pekan kemudian.
Aliansi Militer-Kaum Islamis
Sementara itu, demonstran masih membanjiri jalan-jalan kota selama Bulan Ramadan untuk menuntut penyelenggaraan pemilu.Aliansi pro-demokrasi Sudanmencurigai junta militer ingin mengajak kelompok garis keras Islam berkuasa melalui pemilihan umum nanti.
"Pelaku kudeta dan para pendukungnya kini bersatu dalam aliansi kotor, untuk mengembalikan negeri ini ke era tirani dan korupsi, serta duka dan penderitaan," kata Omer Eldigair, Ketua Umum Partai Kongres Sudan, baru-baru ini.
Adapun Suliman Baldo, Direktur Sudan Transparency and Policy Tracker, sebuah lembaga pemantau demokrasi di Khartoum, mengatakan upaya militer memulihkan hak politik kaum Islamis dan bekas pemberontak pro-Bashir akan semakin memicu eskalasi konflik.
Tuduhan itu dibantah oleh junta militer. Kepada Reuters, seorang pejabat Sudan menjamin militer berupaya membentuk "konsensus nasional" tanpa melibatkan NCP. Adapun Jenderal al-Burhan mengatakan, akan mengkaji ulang penempatan kembali bekas pejabat NCP di pemerintahan.
Peran NCP dalam Pemilu
Diplomat asing dan analis internasional menilai, upaya militer memulihkan hak politik partai-partai Islam pro-Bashir sudah sejalan dengan transisi demokratis. Ini membuka jalan bagi terselenggaranya pemilu yang kredibel sebagai syarat kucuran dana bantuan internasional.
"Sudan berada dalam krisis eksistensial," kata Amani al-Taweel dari lembaga wadah pemikir Mesir, al-Ahram Center. "Semua orang khawatir karena potensi Sudan sebagai wadah terorisme," ujarnya.
Meski dilarang pada 2019 pasca kejatuhan al-Bashir, kader NCP yang kembali menjabat dinilai berpeluang mempengaruhi jalannya pemilihan umum. Bashir sendiri saat ini berstatus narapidana, meski lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit.
"Kami menyambut peran baru dalam sistem dan pemerintahan sipil selama periode transisi untuk membawa kita menuju pemilu yang bebas dan adil," kata Ketua Umum NCP, Ibrahim Gandhour, kepada statsiun televisi al-Jazeera.
Pernyataan tersebut mencuatkan kecurigaan perihal niat NCP terkait pemilihan umum. Nasredeen Abdulbari, bekas Menteri Kehakiman dalampemerintahan transisi Sudanyang dijatuhkan dalam kudetamengatakan, junta juga memulihkan jabatan bekas perwira pro-Bashir di tubuh angkatan bersenjata.
"Mustahil membangun sebuah negara baru, jika Anda tidak meruntuhkan rejim lama terlebih dahulu," kata Abdulbari kepada Reuters.
Redaktur : Lili Lestari
Komentar
()Muat lainnya