Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perubahan Iklim I Negara Berkembang Membutuhkan Pembiayaan Hijau

G20 Harus Bahas Transisi Energi di Negara Berkembang

Foto : Sumber: Kemen ESDM - KORAN JAKARTA/ONES/AND
A   A   A   Pengaturan Font

» EBT mungkin sudah berkelanjutan dan reliable, tapi belum affordable.

» Untuk meyakinkan dunia internasional, RUU EBT harus diselesaikan dulu.

JAKARTA - Upaya mencegah perubahan iklim global harus berjalan secara bersamaan dan simultan di semua negara, terutama yang berkontribusi besar terhadap emisi karbondioksida. Guna memastikan itu berjalan beriringan di semua negara maka pemimpin negara-negara kelompok 20 (G20) diharapkan membahas hal tersebut pada pertemuan puncak di Bali, November mendatang.

Lead Co-Chairs Think 20 (T20) Indonesia, Bambang Brodjonegoro, mengatakan pemimpin G20 perlu memberi perhatian pada transisi energi di negara berkembang karena prosesnya yang mahal, berat, dan banyak pengorbanannya. "Harus ada perhatian lebih kepada negara berkembang agar bisa melakukan transisi energi dengan baik," kata Bambang dalam sesi wawancara di Nusa Dua, Bali, Selasa (6/9) seperti dikutip dari Antara.

Negara-negara berkembang, jelas Bambang, membutuhkan pembiayaan hijau atau green financing agar pembangkit-pembangkit listrik mereka bisa diubah menjadi pembangkit listrik berbahan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan harga yang murah. "Energi baru dan terbarukan sekarang mungkin sudah berkelanjutan dan reliable, tapi belum affordable karena rata-rata harga EBT masih mahal untuk negara berkembang," katanya.

Presidensi T20 Indonesia itu pun merekomendasikan kepada pemimpin negara-negara anggota G20 agar bisa membahas mengenai transisi energi yang berkeadilan bagi negara berkembang. "Transisi energi ini kan sangat didorong oleh negara Eropa karena mereka memiliki daya beli. Listrik ingin bersumber dari EBT pun mereka bisa membeli karena green financing-nya sudah jalan," papar Bambang.

Adapun skema yang dapat digunakan untuk membiayai proses transisi energi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, ialah blended finance atau model pembiayaan campuran baik mencampur pembiayaan komersial, konvensional, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan filantropis. Dengan model campuran itu diharapkan cost of fund atau biaya produksi EBT dapat ditekan sehingga harganya bisa lebih murah bagi masyarakat.

Bambang juga merekomendasikan agar harga listrik yang dijual di Indonesia bisa lebih fleksibel atau tidak saklek ditentukan pada awal penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA).

"Biasanya harga listrik bersumber EBT tinggi di awal, lalu ke depan harganya akan menjadi lebih rendah. Ini tidak bisa di-cover PPA, jadi harus ada perubahan mindset agar harganya lebih dinamis," jelasnya.

Pengamat Energi Terbarukan, Surya Darma, yang diminta tanggapannya, mengatakan

peran pemimpin negara G20 sangat memberikan aspirasi dan dorongan kepada negara-negara berkembang agar transisi energi dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Apalagi pandangan selama ini bahwa EBT itu mahal, kini sudah terbantahkan dengan sendirinya karena semakin hari harga energi fosil semakin melonjak dan jauh lebih mahal.

Selain pembiayaan hijau atau green financing, hal lain yang diperlukan adalah level of playing field yang sama pada energi terbarukan, agar pembangkit-pembangkit listrik di negara berkembang bisa diubah menjadi pembangkit listrik berbahan energi terbarukan (ET) bahkan dengan harga yang lebih terjangkau.

Diminta pada kesempatan lain, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan biaya investasi dan operasional EBT yang cukup mahal menyebabkan tarifnya dinilai lebih tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah harus memberi subsidi agar tarif terjangkau. "Yang harus memberi insentif tarif adalah pemerintah, semoga Indonesia sudah mempunyai roadmap untuk itu," tandas Anthony.

Sudah Berpartisipasi

Direktur Energi Watch, Mamit Setiawan, mengatakan dunia saat ini sedang menuju ke transisi energi dan net zero emission. Dengan memberikan pinjamanan atau hibah atau donor kepada kegiatan yang bersifat green energy maka mereka sudah berpartisipasi dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dan menyelamatkan bumi dari pemasanan global. "Agar kita bisa meyakinkan dunia internasional maka regulasi kita soal green energi harus jelas dulu. Itulah pentingnya RUU EBT segera dibahas oleh DPR dan pemerintah," kata Mamit.

Peluang green financing sangat potensial masuk ke Indonesia kalau landasan hukumnya yaitu UU EBT, kata Mamit, diselesaikan terlebih dahulu.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top