Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Bisnis

Freeport Indonesia Belum Berencana untuk IPO

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) menyatakan belum bisa merealisasikan pelepasan saham ke publik melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) karena masih menunggu kebijakan yang mendukungnya.

Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengatakan apabila Freeport Indonesia akan divestasi maka harus dilakukan terlebih dahulu ke Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, atau swasta yang berafiliasi. "Tapi sejauh ini belum ada aturan dari Pemerintah untuk IPO," ungkapnya di Jakarta, Senin (12/11).

Kendati demikian, kemungkinan untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih terbuka. Bahkan, kata Riza, pada saat awal-awal pembahasan, Freeport Indonesia lebih menginginkan agar melepas sahamnya ke publik.

Lebih lanjut Riza menjelaskan divestasi saham yang baru dilakukan pihaknya ke PT Inalum (Persero) sebesar 51 persen dan Freeport McMoRan Inc (FCX) sebesar 49 persen, semuanya tergantung pengendali perusahaan masuk pasar atau tidak.

Baca Juga :
Pelayaran Perdana

Terkait kontrak karya, menurut Riza telah diganti sebagai Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), setelah itu Inalum masuk dan akan dilihat lagi prosesnya. "Setelah Inalum masuk akan dilihat apakah perusahaan ini berkeinginan untuk masuk pasar segera atau tidak," imbuhnya.

Untuk nilai transaksi divestasi atas pelepasan saham Freeport Indonesia ke Inalum sudah ditentukan namun transaksinya belum dilakukan. "Jadi Inalum mengambil porsinya Rio Tinto sebesar 3,5 miliar dolar AS dan Indocopper Investama, anak usaha Freeport McMoRan Inc., sebesar 530 juta dolar AS. Jadi 3,85 miliar dolar AS yang harus dikeluarkan oleh Inalum," jelas dia.

Batas tenggat waktu pembayaran masih menunggu Pemerintah, namun diharapkan akhir tahun ini semua rampung. Menurut Riza, bukan hanya pembahasan mengenai divestasi tetapi juga lima pokok pembahasan lainnya, yakni divestasi, smelter, peningkatan penerimaan negara, beroperasinya perusahaan sampai 2041, dan stabilitas investasi.

Bahkan untuk bangun smelter saja biaya yang dikeluarkan cukup besar dan mahal mencapai 3 miliar dolar AS. Tidak mungkin kita bangun smelter kalau kita tidak dikasih waktu sampai 2041, karena uangnya dari mana," terangnya. Terkait pembangunan smelter saat ini telah dibuat desain dan pemadatan tanah. Ketika pembahasan ini selesai baru akan dibangun fisik.

Smelter ini berkapasitas 2 juta konsentrat akan berada di Gresik, Jawa Timur. "Untuk Papua belum bisa karena smelter itu ada limbahnya seperti sulfat, gypsum yang harus dikelola," pungkasnya.

yni/AR-2

Penulis : Yuni Rahmi

Komentar

Komentar
()

Top