Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Fenomena Calon Tunggal: Tanda Matinya Demokrasi

Foto : istimewa

Antonius Benny Susetyo

A   A   A   Pengaturan Font

Fenomena calon tunggal dalam Pilkada adalah sinyal berbahaya dari matinya demokrasi. Ketika hanya ada satu calon yang tersedia, proses pemilihan menjadi sekadar formalitas, menghilangkan kebebasan memilih yang merupakan hak dasar setiap warga negara. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, di mana seharusnya ada ruang bagi berbagai ide, visi, dan solusi untuk bersaing secara sehat demi kebaikan bersama.

Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menawarkan alternatif pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk berpihak kepada kepentingan publik. Ketika hanya ada satu calon, pemimpin yang terpilih sering kali hanyalah karbitan, yang tidak memiliki akar pada hak-hak dan persoalan yang dihadapi masyarakat.

Kondisi ini sangat berbahaya jika dipaksakan, karena pemerintahan yang dihasilkan tidak akan efektif dalam merespons persoalan-persoalan publik. Pemimpin yang dipilih tanpa adanya kompetisi yang sehat cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang memiliki visi yang jelas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, mereka lebih cenderung mengutamakan kepentingan kelompok atau individu tertentu yang mendukung pencalonan mereka.

Lebih dalam lagi, calon tunggal mencerminkan adanya masalah struktural yang mendalam dalam sistem politik kita. Ini bisa jadi merupakan hasil dari dominasi kekuasaan oleh segelintir elit politik yang berupaya mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara, termasuk dengan menghalangi munculnya calon-calon alternatif. Jika dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan erosi lebih lanjut terhadap kepercayaan publik pada proses demokratis dan pada akhirnya membawa kematian bagi demokrasi itu sendiri.

Esensi dari demokrasi adalah partisipasi aktif dan pilihan yang bebas. Ketika demokrasi kehilangan esensinya, sistem ini tidak lagi mampu memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam menentukan calon pemimpin. Partai politik yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi masyarakat justru kehilangan kemandirian dan cenderung hanya mengikuti tren populer.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top