Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pameran Buku - Dorong E-Deposit Perbukuan Terwujud di 2018

Era Digital Momok Dunia Buku

Foto : koran jakarta/citra larasati

Era Digitalisasi Perbukuan - (Dari kiri) Kepala Perpustakaan Nasional, Syarif Bando, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Rosidayati Rozalina, dan Ketua Pengurus Harian Yayasan Obor Indonesia, Kartini Nurdin, menjadi narasumber dalam diskusi bertema Era Digitalisasi Perbukuan di Indonesia International Book Fair, di Jakarta, Minggu (10/9).

A   A   A   Pengaturan Font

Sudah saatnya dunia perbukuan nasional menyesuaikan diri dengan kehadiran era digitalisasi.

JAKARTA - Era digitalisasi masih menjadi momok bagi masyarakat yang bergelut di dunia perbukuan. Padahal sebaliknya digitalisasi buku justru akan menguntungkan, baik penulis maupun kalangan penerbit. Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, mengatakan sudah saatnya dunia perbukuan nasional menyesuaikan diri dengan kehadiran era digitalisasi.

Masyarakat perbukuan seperti penulis dan penerbit diminta tidak perlu khawatir akan era digital yang akan menurunkan oplah penjualan buku. Sebab menurut penelitian yang dilakukan Perpusnas dalam kurun waktu setahun belakangan, yang akan terjadi justru sebaliknya. Dengan buku digital, minat membaca akan naik dan berdampak pada meningkatnya angka penjualan buku cetak.

Keberadaan buku teks sendiri, diyakini Syarif tidak akan tergantikan begitu saja oleh buku digital. "Nasib buku tidak akan seperti kaset yang tergantikan dengan kepingan CD atau bahkan soft copy yang dapat dengan mudah diunduh di internet," jelas Syarif dalam sebuah diskusi di sela-sela Indonesia International Book Fair (IIBF) 2017, di Jakarta, Minggu (10/9).

Pernyataan tersebut disampaikan Syarif, melihat masih adanya momok era digitalisasi bagi masyatakat perbukuan di Indonesia. Meski sudah seharusnya pengarsipan buku dilakukan secara digital, kemampuan Perpustakaan Nasional untuk mendigitalisasikan buku itu sendiri masih kurang. Dari target digitalisasi 500 ribu judul buku di 2019 saja, baru terpenuhi 12 ribu judul buku di 2017. "Capaian targetnya sangat minim," jelasnya.

Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa kepuasanseseorang membaca buku teks masih di atas 80 persen, sedangkan untuk membaca buku elektronik masih penuh keterbatasan, seperti membutuhkan gawai, dan adanya radiasi dari gawai yang membuat orang tidak bisa terlalu lama menatap layar telepon selular ataupun komputer.

Hal tersebut juga dibuktikan dengan hasil penelitian lain tentang pengguna internet Indonesia. Dari 132 juta pengguna internet, maksimal 2,5 persennya saja yang mengakses ilmu pengetahuan dari internet, termasuk membaca buku. "Apalagi untuk kebutuhan ilmiah, masih memakai teks, belum bisa berbasis digital sebagai rujukan," jelas Syarif.

Sistem "E-deposit"

Ketua Umum IKAPI, Rosidayati Rozalina, mengatakan hal senada. Era digital sesungguhnya dapat menguntungkan masyarakat perbukuan. Dengan demikian, IKAPI bersama Perpusnas akan duduk bersama untuk mendorong terwujudnya sistem e-deposit (deposit elektronik) di 2018, yakni penyerahan file perbukuan nantinya dapat dilakukan dalam bentuk digital.

E-deposit juga akan mempermudah penataan data base dunia perbukuan di Indonesia. "Saya di IKAPI paling sedih kalau bertemu dengan masyarakat perbukuan di luar negeri, ditanyakan berapa buku yang terbit, kemudian yang best seller, kami selalu tidak punya datanya," ungkap Rosidayati. Sistem deposit elektronik juga akan mempermudah banyak pihak untuk melakukan riset dan monitor perbukuan.

"Misal, untuk memantau naikturunnya tren buku dan literasi. Jika dikawinkan dengan penjualan buku akan powerfull sekali untuk menjadi data industri," kata Rosidayati. Meski memasuki era digitalisasi buku, Rosidayati tetap meyakini bahwa keberadaan buku cetak tidak akan kehilangan penggemarnya.

"Buku punya kelebihan, ada rasa tersendiri memegang buku fisik, sedangkan buku digital harus memiliki gawai, dan harus ada listrik jika mau membaca," jelasnya. Buku digital diakuinya memiliki kelebihan dari sisi kemudahan untuk mengawasi konten buku itu sendiri. Seperti yang banyak ditemukan konten- konten negatif di buku-buku pelajaran.

"Kalau di buku cetak mungkin konten negarif bisa terlewat, tapi kalau sudah ada digitalnya akan lebih mudah mengawasi konten," jelas dia. Ketua Pengurus Harian Yayasan Obor Indonesia (YOI), Kartini Nurdin, mengatakan era digital adalah sebuah keniscayaan, tidak terkecuali untuk dunia perbukuan. Hal itu membuat YOI juga mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Dari 1.500 judul yang diterbitkan, sebanyak 50 persen dari buku yang diterbitkan pihaknya telah memiliki versi digital. "50 persen sudah kami digitalisasikan," kata Kartini. cit/E-3

Komentar

Komentar
()

Top