Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Elastisitas Indikator Ekonomi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Effnu Subiyanto

Terjadi hubungan tidak elastis antara indikator yang disebutkan pemerintah dengan fakta ekonomi yang terjadi. Ketidak-konsistensi indikator ekonomi ini menguatkan argumentasi bahwa small-open economy memang tidak mampu membebaskan independensi ekonomi sebuah negara, kendatipun sangat optimisnya negara tersebut.

Beberapa waktu lalu, pemerintah mengungkapkan keoptimisan masa depan ekonomi Indonesia berdasarkan pada sejumlah indikator-indikator makro dan mikro ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kuartal I masih dikatakan memiliki harapan karena berada pada titik 5,06 persen. Angka pengangguran terbuka (TPT) Februari 2018 sebesar 5,13 persen, lebih kecil dibanding Agustus tahun lalu 5,5 persen atau Februari 2017 sebesar 5,33 persen.

Angka inflasi meskipun trendingnya naik namun masih dalam kontrol APBNP 2018. BI menyatakan inflasi April 0,23 persen (mtm) sehingga agregat tahunan pada kisaran 3,55 persen (yoy). Perhitungan inflasi diakumulasi tahunan pada Maret sebetulnya masih rendah yakni 3,4 persen, demikian pula dibandingkan bulan Februari 3,18 persen yoy. Kenaikan inflasi dimaknai pemerintah sebagai indikasi pergerakan ekonomi pada tingkat awal sehingga tidak menjadikan perhatian.

Pada sisi mikro ekonomi, baru-baru ini Menteri Keuangan menyatakan bahwa kinerja APBN lebih baik dibandingkan periode sama tahun lalu. Realisasi belanja sampai dengan April 2018 mencapai Rp 582,9 triliun atau 26,25 persen dari total belanja APBNP 2018 Rp 2.220,7 triliun.

Angka ini tumbuh 8,33 persen dibanding periode sama 2017. Belanja pemerintah pusat tercatat Rp 331 triliun, realisasi transfer daerah dan dana desa pun naik menjadi Rp 251,9 triliun. Realisasi anggaran untuk bantuan sosial dan subsidi mencapai 40 persen dari pagu anggaran Rp 77,26 triliun atau terjadi kenaikan spektakuler 138,76 persen dibanding periode sama 2017.

Dari sisi penerimaan negara, kinerja pajak dan cukai sampai April 2018 tercapai Rp 416,9 triliun atau tumbuh 25,8 persen dibanding periode sama 2017. Kontributor utama penerimaan pajak adalah pertumbuhan PPN sebesar 14,1 persen dan kenaikan penerimaan PPh non-migas 17,3 persen.

Dengan cadangan devisa 124,90 miliar dollar AS, kendatipun turun 7,08 miliar dollar AS sejak awal tahun dalam rangka untuk menjaga nilai tukar rupiah, ekonomi Indonesia diklaim masih baik oleh pemerintah.

Ekonomi Teritori

Teori klasik pertumbuhan ekonomi yang dipicu peningkatan PDB berdasarkan pandangan Mankiw (2007:476-498) terdiri dari kombinasi tingkat konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan selisih perdagangan internasional pada kasus Indonesia sangat sumir. Tingkat keoptimisan ekonomi jika mengacu perkembangan terakhir dengan mendasarkan pada indikator-indikator umum tampaknya kurang relevan.

Penelitian Drobniak (2017:43-62) menyebutkan bahwa masih banyak indikator untuk mendorong peningkatan ekonomi termasuk di antaranya adalah faktor teritori. Dalam risetnya di negara-negara Eropa, akumulasi ekonomi sudah sangat hibrid kombinasi dari berbagai variabel dan sifatnya sangat likuid, keterkaitan teritori mengambil peranan signifikan meskipun indikator-indikator klasik disebutkan Mankiw dalam posisi bagus, deviasi dan anomali ekonomi tetap terjadi.

Negara Eropa dalam kelompok driver saat ini sudah beralih ke negara Romania, Slovakia, Estonia, Bulgaria, Latvia dan Lithuania menggeser negara super maju seperti Denmark, Swedia, Finlandia, Belgia, Austria, dan Belanda. Shifting pemicu ekonomi ini disebabkan karena teritori dan bukan indikator-indikator ekonomi umum.

Gaspar, dkk (2014:157-160) lebih dahulu juga menyebutkan bahwa ekonomi saat ini sudah harus dinilai dengan kriteria multi untuk menemukan titik ekuilibrium baru. Indikator-indikator umum yang dulu dikenal dengan keajaiban pertumbuhan (growth miracles) sebagaimana disebutkan dalam teori ekonomi klasik sudah tidak memadai lagi.

Lepas dari formulasi dasar ekonomi oleh Mankiw atau penelitian Gaspar dan juga riset yang terbaru Drobniak, persoalan ekonomi Indonesia memang sangat anomali dan tidak cukup hanya diproklamirkan cukup aman atau masih optimis. Masih tampak timpang jika melihat fakta-fakta riil di tengah-tengah rakyat Indonesia.

Saat ini di tengah dramatisasi proyek-proyek infrastruktur masif, justru rakyat sulit mencari lapangan pekerjaan baru. Bahkan yang sudah bekerja pun saat ini dalam bayang-bayang ketakutan karena ancaman PHK. Ribuan industri Indonesia menyatakan pertumbuhan stagnan bahkan rugi yang implikasinya PHK kepada pekerja.

Pun ironisnya, laporan yang dirilis pemerintah justru bertolak-belakang dan anomali. Semuanya diklaim sangat bagus dan lebih baik dari negara lain.

Bahkan rupiah merosot pun disebutkan bagus dalam rangka untuk meningkatkan ekspor karena harga produk Indonesia menjadi kian kompetitif.

Jejak awal tahun sampai dengan Mei, mata uang rupiah mengalami koreksi turun sebesar 5,7 persen. Dikatakan masih baik dibandingkan real Brasil yang terkoreksi 6,83 persen, rubel Rusia (-8,93 persen) atau lira Turki (-11,51 persen).

Total utang luar negeri pun dikatakan baik. Sampai dengan kuartal I jumlah utang luar negeri mencapai 358,7 miliar dollar AS atau naik 8,7 persen yoy. Indikator baiknya berdasarkan indikator rasio pembayaran utang atau debt service ratio (DSR) dan rasio utang terhadap ekspor atau debt to export ratio (DER) yang menurun. DSR Tier 1 turun menjadi 25,67 persen dibandingkan periode sama 2017 sebesar 33,15 persen. DSR Tier 2 juga berkurang menjadi 52,37 persen dari 59,42 persen pada periode sama 2017. Angka DER pun turun menjadi 166,58 persen dari periode sama 2017 sebesar 173,48 persen.

Sebenarnya rakyat Indonesia tidak membutuhkan debat dan argumentasi mengenai indikator-indikator ekonomi karena memang tidak perlu dan tidak butuh. Rakyat tentu saja kalah pandai dibandingkan para pegawai negara yang bersekolah tinggi. Hanya dalam waktu sekejab, data-data dapat diolah untuk legitimasi governansi penyelenggaraan negara. Fakta tidak bergeraknya ekonomi pun dapat dipelintir dengan pengolahan data-data. Namun persoalannya jika kesejahteraan rakyat jalan di tempat, argumentasi apalagi yang akan dibangun?


Penulis: senior advisor CikalAFA-umbrella, Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor)

Komentar

Komentar
()

Top