Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Proyeksi 2019 - Konsumsi Domestik Masih Jadi Mesin Penggerak Pertumbuhan

Ekonomi Nasional Hadapi Tekanan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan bakal menghadapi tantangan berat seiring pelambatan perekonomian dunia. Karena itu, pemerintah diminta lebih inovatif mencari jalan keluar dari pengaruh ketidakpastian global.

Bank Indonesia (BI) memperingatkan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 masih akan dibayangi ketidakpastian, terutama terkait perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

Pertumbuhan ekonomi global akan cenderung mengarah ke bawah tiga persen. "Kecuali AS, semua negara mengalami perlambatan ekonomi.

Bahkan untuk pertama kalinya, Tiongkok mencatatkan defisit transaksi berjalan dalam 20 tahun terakhir. Ini menggambarkan Tiongkok mengalami dampak yang kini terjadi terutama dari sisi perdagangan,"

kata Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo, dalam acara diskusi CORE Economic Outlook 2019 di Jakarta, Rabu (21/11).

Dody menyatakan BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2019, sebesar 5,1 persen atau hampir sama dengan estimasi capaian tahun ini.

Dody menambahkan, konsumsi domestik masih akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi pada 2019 didukung dengan penyaluran kredit perbankan dan non perbankan.

"Domestic demand masih akan jadi faktor utama di 2019. Financing untuk 2019 juga masih akan cukup tinggi, tidak hanya yang dari perbankan tapi juga non perbankan," kata Dody.

Hal senada juga disampaikan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. Lembaga tersebut bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional akan berada di kisaran 5,1-5,2 persen, lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi pemerintah dalam APBN 2019, yakni 5,3 persen.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menilai target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen yang dipatok pemerintah pada 2019 secara realistis masih sulit tercapai.

Belanja pemerintah, lanjutnya, memang dapat digenjot untuk tumbuh lebih tinggi. Namun, dua sumber pertumbuhan yang lain yakni investasi dan net ekspor masih mengalami tekanan.

"Sementara konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar PDB kemungkinan besar juga masih sukar tumbuh lebih dari 5,1 persen," ujar Faisal.

Dia menambahkan, meskipun tantangan ekonomi yang dihadapi pada 2019 lebih besar, bukan berarti peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi sudah tertutup.

CORE meyakini, untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global, pemerintah perlu melihat permasalahan ekonomi nasional dari akarnya serta lebih inovatif dalam mencari solusinya.

Rupiah Tertekan

Terkait prospek kinerja rupiah tahun depan, CORE memperkirakan mata uang Garuda masih akan berada dalam tekanan pelemahan atau depresiasi, terutama pada Semester I-2019.

CORE Indonesia memperkirakan, sepanjang 2019, nilai tukar rupiah rata-rata akan di kisaran 15.200 rupiah per dollar AS, lebih lemah dibandingkan asumsi kurs dalam APBN 2019 sebesar 15.000 rupiah per dollar AS.

"Rupiah akan mendapatkan momentum penguatan pada semester kedua setelah selesainya proses pemilu," kata Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam.

Menurut Piter, masih besarnya tekanan pelemahan nilai tukar rupiah akan memicu respons kebijakan yang cenderung ketat dari Bank Indonesia.

Suku bunga acuan BI diperkirakan akan mengalami kenaikan sebanyak 3-4 kali ke kisaran 6,75 persen hingga 7 persen pada akhir 2019.

Untuk mengatasi tekanan pelemahan itu, BI menegaskan akan tetap menerapkan kebijakan moneter ketat yang tentunya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Namun, hal tersebut dilakukan agar defisit neraca transaksi berjalan tidak semakin lebar dan berdampak negatif terhadap rupiah. mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top