Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Proyeksi 2024 I Daya Beli Masyarakat Indonesia Semakin Melemah

Ekonomi Indonesia Berpotensi Stagnasi

Foto : ISTIMEWA

TAUHID AHMAD Direktur Eksekutif Indef - Walaupun Pemerintah menyiapkan bantuan sosial untuk masyarakat untuk menjaga daya beli, tetapi nilai bansos yang diberikan kepada masyarakat itu tidak cukup untuk meningkatkan daya beli.

A   A   A   Pengaturan Font

» Negara akan sulit keluar dari middle-income trap jika terus mengandalkan konsumsi sebagai penopang pertumbuhan.

» Daya saing yang kuat diperlukan agar ekonomi dapat berkembang secara berkelanjutan.

JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 mendatang berpotensi mengalami stagnasi, bahkan sedikit melambat walaupun tidak besar. Potensi stagnasi itu disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan internal.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan faktor utama dari eksternal yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah perlambatan ekonomi global. Hal tersebut terlihat dari melemahnya permintaan ekspor Indonesia, terutama dari Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Korea Selatan.

"Kita masih punya masalah dari sisi penurunan ekspor-impor sampai tahun depan, harga komoditas masih belum bergejolak baik akibat pelemahan ekonomi dunia, sehingga itu yang membuat ekonomi kita tidak bertumbuh tinggi," kata Tauhid kepada Antara.

Selain itu, dari domestik adalah pengaruh daya beli masyarakat Indonesia yang melemah.

"Walaupun pemerintah menyiapkan bantuan sosial untuk masyarakat untuk menjaga daya beli, tetapi nilai bansos yang diberikan kepada masyarakat itu tidak cukup untuk meningkatkan daya beli. Jadi, rata-rata hanya untuk mempertahankan dari kenaikan harga yang bersifat volatile food," jelas Tauhid.

Dia pun merekomendasikan beberapa kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada tahun depan. Pertama, pemerintah perlu memperkuat ekonomi domestik dengan mengurangi impor dan meningkatkan ekspor ke negara-negara yang pertumbuhan ekonominya masih bagus.

Kedua, pemerintah perlu meningkatkan daya beli masyarakat melalui efektivitas bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, dan penyediaan fasilitas pendukung. Dia juga menyarankan agar pemerintah meningkatkan jumlah kelompok masyarakat kelas menengah melalui program-program yang tepat sasaran.

"Kita harus meningkatkan kelas menengah kita yang tidak tersentuh bantuan, tidak tersentuh program dari pemerintah, tapi mereka jumlahnya banyak. Nah, ini perlu pemerintah membuat program karena mereka juga merupakan penggerak penting perekonomian," kata Tauhid.

Dengan momentum tahun politik pada 2024, dia berharap pemerintah bisa memanfaatkan itu guna untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. "Momentum ini harus dikawal agar nantinya terjadi perbaikan di perekonomian kita agar lebih baik lagi," kata Tauhid.

Bonus Demografi

Diminta terpisah, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan optimisme akan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh masih kuatnya konsumsi masyarakat menyiratkan akan adanya risiko.

Bagi negara sebesar Indonesia yang terlalu mengandalkan konsumsi sebagai penopang pertumbuhan justru membuat negara akan sulit keluar dari middle-income trap atau jebakan negara berpendapatan menengah.

"Dari dulu kan memang kita tumbuh karena konsumsi. Penduduk kita besar dan sedang berada dalam bonus demografi alias tenaga produktif jauh lebih banyak daripada nonproduktif. Tapi kan bahaya kalau investasi tidak jalan karena produktivitas tidak meningkat, jadi pada satu titik akan segitu-segitu saja," papar Aditya.

Investasi, menurut Aditya, memiliki peran kunci dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, seharusnya ada upaya untuk meningkatkan iklim investasi dan mendorong sektor swasta untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang berkelanjutan.

"Daya saing yang kuat diperlukan agar ekonomi dapat berkembang secara berkelanjutan, baik di tingkat nasional maupun global," papar Aditya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, mengatakan Indonesia masih menghadapi risiko stagnasi ekonomi karena perang dagang Tiongkok-AS belum jelas kapan akan berakhir. "Dinamika hubungan AS dan Tiongkok akan menekan ekspor Tiongkok sehingga Indonesia mau tidak mau akan terpengaruh," kata Imron.

Hal itu juga berpotensi dialami negara-negara lainnya, seperti Eropa, India, dan Jepang yang juga dampaknya terasa ke Indonesia.

Sebab itu, pemerintah harus lebih aktif merespons dengan menekan impor dan menaikkan ekspor serta lebih banyak mengembangkan subtitusi impor untuk menggerakkan ekonomi domestik.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top