Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Kenaikan Bunga Meningkatkan Risiko Perbankan

Ekonomi AS Menguat, Rupiah Terus Merosot

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengemukakan pernyataan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, Jerome Powell bahwa ekonomi AS sangat positif dan berencana melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya, membuat dollar AS kembali menguat terhadap sejumlah mata uang dunia, termasuk rupiah.

Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) seharusnya lebih responsif dalam mengantisipasi kenaikan bunga acuan The Fed. Sebab, jika BI terlambat menaikkan bunga acuan seperti saat ini maka pelemahan rupiah makin sulit dikendalikan. Pada perdagangan, Kamis (4/10), kurs rupiah kembali terdepresiasi.

Menurut data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 104 poin (0,69 persen) menjadi 15.179 rupiah per dollar AS. Mata uang RI itu, pada Rabu (3/10) juga berakhir melemah 32 poin atau 0,21 persen di posisi 15.075 rupiah per dollar AS. Pelaku pasar mengatakan Powell pada Rabu (3/10) melanjutkan pernyataannya terkait prospek ekonomi AS yang sangat positif, melihat data pengangguran yang rendah dan kenaikan harga yang terjaga.

Kondisi ini, menurut dia, secara historis jarang terjadi. Oleh karena itu, The Fed dinilai masih sangat berkomitmen menaikkan suku bunganya secara bertahap. Pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin (bps) menjadi 2,00-2,25 persen. Diperkirakan ada kenaikan lagi pada Desember, tahun depan, dan 2020.

Pertumbuhan ekonomi AS yang tetap kuat membuat dollar mengungguli mata uang lainnya, karena data ekonomi negara besar lain, termasuk negara-negara Eropa berada di bawah ekspektasi. Ekonom Universitas Atmajaya Yogyakarta, Y Sri Susilo, mengemukakan di tengah-tengah tekanan apresiasi dollar terhadap sejumlah mata uang negaranegara berkembang, BI dan pemerintah mesti bersama-sama fokus menjaga rupiah untuk tidak terjun bebas. Apalagi, di akhir tahun ada banyak kewajiban dari pemerintah dan swasta terkait pembayaran bunga dan pokok utang.

"Makanya memang harus berani memberi kepastian kepada investor, salah satunya dengan yield rupiah yang lebih menarik dibandingkan portofolio dalam dollar. Selisih lima persen saat ini tampaknya belum cukup menarik. Kalau rupiah masih tertekan, jangan ragu naikkan suku bunga lagi. Kalau terlambat, kenaikan bunga tak mampu menolong rupiah," papar dia, saat dihubungi Kamis.

Saat ini, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun mencapai 8,22 persen, sedangkan yield US-Treasury menyentuh 3,05 persen. Artinya, yield spread SBN 10 tahun dan Treasury tenor yang sama sebesar 5,17 persen. Idealnya, selisih imbal hasil yang menarik berkisar 7-8 persen, sehingga bunga acuan BI perlu segera dinaikkan lagi.

Menurut Susilo, BI maupun pemerintah tidak bisa terus-menerus mengatakan bahwa lemahnya rupiah adalah fenomena sementara yang akan kembali menguat lagi. Sebab, situasi dunia benar- benar dalam ketidakpastian, tidak ada satu otoritas pun yang tahu bagaimana pasar keuangan maupun perdagangan global mau menuju.

Harus Siap

Ekonom CORE, Piter Abdullah, menambahkan sesungguhnya tidak ada cerita dalam satu atau dua tahun ini rupiah bakal menguat secara signifikan. "Nggak ada ceritanya. Kita harus siap dengan pelemahan rupiah. Bahkan sampai tahun depan harus kita hadapi," tukas dia.

Menurut Piter, pada kondisi seperti sekarang ini, ketika perekonomian AS membaik sehingga mengundang investor untuk berinvestasi ke dalam dollar AS, yang diperlukan oleh BI adalah cermat mengambil keputusan. Meskipun BI sudah menaikan suku bunga acuan untuk kesekian kalinya menjadi 5,75 persen, sebenarnya tujuannya hanya sekadar menahan agar nilai tukar tidak terlalu anjlok.

"Melemah tapi tidak terlalu liar. BI harus menjaga jangan sampai cepat tembus di level 15.500 rupiah per dollar AS. Kalau ini terjadi akan membuat panik, perekonomian kita bisa tidak terkendali," jelas Piter. Susilo juga mengingatkan kenaikan suku bunga BI sebenarnya juga menambah risiko pada kinerja perbankan akibat kenaikan bunga kredit.

Apalagi ada outstanding kredit properti yang mencapai 900 triliun rupiah. "Jika sampai macet akibat bubble properti maka dampaknya terhadap perekonomian akan sangat signifikan," jelas dia.

YK/ahm/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top